Purworejo, SiaranIndonesia.com – Kepala SMK 3 Purworejo, Agus Triyana, mengakui bahwa pihaknya memang menerima uang Rp150 juta dari KA, terduga pelaku korupsi dana BOS di sekolah tersebut. Uang tersebut, menurut Agus, digunakan untuk berbagai pembayaran tagihan sekolah, seperti pajak dan listrik.
“Saya dengan tim memang menerima Rp150 juta. Dana itu kemudian disimpan, tetapi karena banyak tagihan pajak, listrik, dan lainnya, akhirnya digunakan untuk membayar kebutuhan tersebut,” ujar Agus Triyana (26/03)
Namun, permasalahan muncul ketika Agus Triyana menyatakan bahwa kuitansi terkait transaksi tersebut memang ada, tetapi ia meragukan apakah kuitansi yang beredar saat ini adalah yang sebenarnya.
“Saya ragu-ragu dengan kuitansi itu. Memang ada kuitansi, tapi apakah yang itu atau bukan, saya lupa,” ujar Agus.
Lebih jauh, Agus juga mengungkapkan bahwa pihaknya sebenarnya telah meminta KA untuk mengembalikan uang tersebut karena ada ketidaksesuaian dalam laporan keuangan. Namun, ketika uang itu sudah diserahkan, teman-temannya tetap menolak untuk meng-SPJ-kan (Surat Pertanggungjawaban) dana tersebut karena jumlahnya tidak sesuai dengan angka yang seharusnya dilaporkan.
“Memang dia pernah menyerahkan Rp150 juta. Tak paksa akhirnya bisa menyerahkan. Tetapi teman-teman tidak mau meng-SPJ-kan karena angka yang di SPJ-kan dengan uangnya tidak sama,” ungkap Agus.
“Karena sekolah tidak punya uang dan ada banyak tagihan, akhirnya uang itu digunakan untuk menutupi berbagai biaya, seperti pajak, listrik, internet, dan lainnya,” tambahnya.
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar dari tim hukum KA dari Aksin Law Firm, Fani dan Ghofir, yang menilai ada ketidakkonsistenan dalam penjelasan kepala sekolah.
Tim hukum KA mempertanyakan bagaimana mungkin uang yang awalnya dianggap tidak sah untuk di-SPJ-kan, justru tetap digunakan oleh pihak sekolah.
“Di satu sisi, kepala sekolah dan timnya tidak mau meng-SPJ-kan dana itu karena ada ketidaksesuaian angka. Tetapi di sisi lain, mereka tetap menggunakan uang tersebut untuk membayar berbagai tagihan sekolah. Kalau dari awal sudah tahu ada masalah, lalu kenapa tetap dipakai?” ujar Ghofir.
Fani menambahkan bahwa dalam transaksi keuangan yang berhubungan dengan dana BOS, kejelasan administrasi adalah hal utama. Jika uang tersebut dikembalikan oleh KA, tetapi kemudian tetap digunakan oleh pihak sekolah tanpa dasar yang jelas, maka perlu dipertanyakan bagaimana pencatatan keuangannya dilakukan.
“Apakah ada pencatatan resmi terkait penggunaan uang itu? Kalau memang tidak di-SPJ-kan, berarti penggunaannya tidak masuk dalam laporan resmi keuangan sekolah. Lalu bagaimana pertanggungjawabannya?” tegas Fani.
Tim hukum KA juga mempertanyakan alasan kepala sekolah yang mengakui adanya kuitansi, tetapi meragukan keabsahan kuitansi yang beredar saat ini.
“Kalau memang ada kuitansi yang dipegang pihak sekolah, mengapa kepala sekolah ragu-ragu? Seharusnya bisa ditunjukkan mana kuitansi yang benar. Kalau kepala sekolah sendiri ragu, maka ini justru semakin memperkuat dugaan adanya kejanggalan dalam pengelolaan dana tersebut,” pungkas Ghofir.