Oleh: Nur Imam Mahdi
Pemilihan tenaga pendidik merupakan salah satu elemen penting dalam sistem pendidikan. Sejatinya, kualitas pendidik diyakini menjadi faktor mendasar dalam kesuksesan akademik dan perkembangan peserta didik. Para pendidik bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan sesuai dengan target pendidikan dan peserta didik. Para guru diharuskan memiliki kriteria tertentu seperti hard skill dan soft skill yang mumpuni agar mampu beradaptasi dengan sistem pendidikan yang dinamis. Sehingga dalam proses seleksinya diperlukan pertimbangan ketat demi terwujudnya tuntutan pendidikan yang diharapkan.
Dalam pemilihan guru jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), sering sekali lebih kompleks dari pemilihan guru untuk jenjang diatasnya. Hal ini dikarenakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) mengutamakan pemahaman, pembinaan dan pengembangan potensi anak pada usianya; yakni dengan tidak terlalu berfokus pada kognitif, melainkan motoris anak melalui ekplorasi dan stimulus atau yang sering disebut masa peka anak yang diterima melalui panca indera. Kegiatan pembelajaran anak usia dini memprioritaskan bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain. Naluri alami anak dalam bermain membantu mereka memahami suatu hal secara detail yang spontan mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya. Dengan demikian, terwujudnya stigma masyarakat bahwa guru yang mampu memenuhi kebutuhan akademis tersebut adalah guru yang berkemampuan untuk menunjukkan afeksinya secara penuh.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) secara umun dikenal sebagai profesi feminis yang pendidik jenjang ini didominasi oleh perempuan. Kesetaraan antara guru laki-laki dan perempuan dalam suatu instansi sangatlah penting karena setiap gender memiliki peran dan kemampuannya masing-masing dalam mendidik. Namun pada kenyataannya terjadi ketidaksetaraan gender, khususnya laki-laki sebagai guru PAUD dan ini bukanlah fenomena yang baru. Fenomena itu tentunya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga secara global. Khususnya kasus di Indonesia, berdasarkan data statistik tenaga pendidik Sorong, hanya ada 4 % laki-laki yang ikut andil dalam PAUD sedangkan 96 %pendidik adalah perempuan. Hal ini membuktikan Pendidikan Anak Usia Dini benar-benar dikuasai oleh perempuan.
Fenomena ini terjadi karena banyaknya perspektif negatif yang beredar dimasyarakat. Laki-laki dianggap kurang mampu dalam mengatasi dan memenuhi tuntutan pendidikan anak usia dini. Menurut Sum & Talu bahwa perempuan lebih mampu mengasuh anak karena mereka memiliki kesabaran yang lebih baik dan mampu menunjukkan perhatiannya dibandingkan laki-laki. Mereka menambahkan bahwa telah menjadi kodrat perempuan bertugas mendidik, dan mengasuh anak dan laki-laki mestinya bertugas mencari nafkah. Kemudian stereotip maskulin yang melekat pada laki-laki selalu terkait dengan perilaku tidak wajar, seperti kekerasan, keberanian, kekuatan fisik, dan ketidak mampuan menunjukkan afeksi atau emosi. Misalnya laki-laki dinilai tidak maskulin jika menangis karena dianggap lemah dan tidak rasional. Itu semua menambah rasa khawatir orang tua terhadap kasus anak diasuh oleh guru laki-laki karena akan berdampak negatif. Perspektif masyarakat melalui beberapa penelitian tersebut dapat dikatakan masih dipengaruhi stereotip tradisional dan budaya.
Namun dalam sebuah penelitian terkait maskulinitas dan pembahasan laki-laki sebagai guru PAUD menyatakan bahwa perbedaan gender guru sangat penting bagi keberhasilan pendidikan anak. Anak-anak dianggap telah mampu bertindak sesuai peran gender dimana mereka mulai belajar, memahami, dan menerapkan peran yang dianggap sesuai untuk dirinya. Pengetahuan tentang jenis kelamin sangat krusial bagi perkembangan jati diri anak dimasa depan sehingga dibutuhkan sosok guru laki-laki dalam jenjang terkait. Tambah Ahmad, dkk., menyatakan bahwa keberadaan laki-laki dalam pendidikan anak usia dini dapat memberikan anak pengalaman berbeda dan pendidikan lebih lengkap seperti dengan menghadirkan figur seorang ayah dan ibu dengan ketegasan, perhatian, keperdulian dan keamanan layaknya keluarga.
Dari paparan diatas membahas konsep maskulinitas dan keseuaian laki-laki sebagai pendidik dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan mencoba untuk mengungkap sederetan tantangan laki-laki saat bergabung dalam pendidikan jenjang tersebut sehingga nantinya menyembatani resolusi dan dampak prediktif maskulinitas pendidik laki-laki terhadap siswa.