Pemerintah, berbenahlah!

- Editor

Kamis, 4 Desember 2025 - 13:34 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemerintah, berbenahlah!

Oleh: Agisthia Lestari

(Peneliti Senior Citra Institute dan Penulis Buku “Politik Agraria: Sejarah, Perkembangan, dan Konflik”)

Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November lalu bukanlah peristiwa alam semata. Ia adalah cerminan dari tata kelola lingkungan yang buruk, lemahnya pengawasan, dan tumpang tindih kebijakan. Sudah tepat jika menyebutnya sebagai bencana ekologi. Dalam data yang dihimpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 3 November 2025, tercatat 800 korban dan 499 masih dinyatakan hilang. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah seiring upaya evakuasi yang terus berjalan. Belum lagi hancurnya infrastruktur utama seperti jalan dan jembatan yang menyulitkan bukan hanya proses evakuasi tetapi juga bantuan kepada masyarakat terdampak.

Kondisi krisis ini tidak boleh dipahami sebagai akibat dari cuaca ekstrem semata—yang juga melanda negara-negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam, melainkan akibat dari rusaknya ekosistem hulu dan daerah aliran sungai (DAS) karena eksploitasi industri ekstraktif.

Industri ekstraktif ditandai dengan aktivitas ekonomi yang mengandalkan sektor pertambangan, perhutanan, dan perkebunan dalam skala besar. Ketiga sektor ini menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia sejak tahun 1970-an. Namun perkembangannya tidak pernah berdiri di ruang kosong; ia lahir, tumbuh, dan menguat melalui kebijakan negara yang membuka pintu bagi eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara massif. Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan 1967, dan UU Kehutanan 1967 merupakan tiga kebijakan yang menjadi titik mula atas ekspansi besar-besaran tersebut. Melalui regulasi ini, perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan skala raksasa mulai beroperasi. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia bergerak cepat, tapi dengan ongkos ekologis yang tidak kecil.

Reformasi 1998 mengubah struktur kewenangan negara secara radikal. Melalui UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999, yang kemudian disempurnakan dalam UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan Daerah memiliki kewenangan atas pernerbitan izin pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Privatisasi kewenangan ini memicu fenomena baru; ledakan izin konsensi. Meskipun kewenangan kemudian ditarik kembali ke pusat melalui pengesahan UU Minerba Tahun 2019 dan UU Cipta Kerja Tahun 2020, ekspansi terus berjalan. Artinya, dua dekade pasca-Reformasi ditandai oleh dinamika tarik-menarik antara kepentingan ekonomi, politik daerah, dan keberlanjutan lingkungan.

Pada akhirnya, ekspansi ekstraktif yang berlangsung selama lebih dari lima dekade menyisakan konsekuensi yang kini dirasakan nyata oleh masyarakat. Mulai dari deforestasi, degradasi kawasan DAS, kualitas udara buruk akibat aktivitas pembakaran batubara pada operasional PLTU, lemahnya daya resap tanah-aliran permukaan lebih cepat, dan tentu saja konflik agraria antara masyarakat, perusahaan, dan negara.

Dalam konteks bencana ekologi di Sumatra hari ini, sejarah industri ekstraktif bukan sekadar catatan dan laporan, tetapi akar persoalan struktural. Pilihan kebijakan masa lalu menciptakan ruang eksploitasi besar tanpa mekanisme pengendalian yang memadai. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu melakukan pembenahan serius melalui evaluasi menyeluruh terhadap sejumlah regulasi kunci.

Evaluasi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Dalam UU No. 26 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang, RTRW memiliki fungsi sebagai kerangka resmi untuk menentukan fungsi lahan, misalnya kawasan konservasi, kawasan taman wisata alam, kawasan budidaya, kawasan pemukiman, dan kawasan industri. Masalahnya, pelaksanaan kebijakan ini kerap kali tumpang tindih izin karena mengakomodasi kepentingan investasi dimana izin pembangunan diberikan pada zona berisiko tinggi atau kawasan-kawasan yang rawan bencana. Solusinya, pemerintah perlu melakukan audit nasional RTRW berbasis prinsip carrying capacity (daya dukung) dan carrying resilience (daya tampung).

Evaluasi Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Konsensi Tambang
Regulasi sektor perkebunan diatur melalui mekanisme Izin Usaha Perkebunan (IUP) dimana perusahaan perkebunan wajib memperoleh izin sesuai kategori. Pada Perkebunan sawit misalnya, izin itu diterbitkan sebagai Hak Guna Usaha (HGU) kategori izin pemanfaatan tanah untuk kebun. Namun, karena banyak perkebunan sawit beroperasi di bekas kawasan hutan—atau bahkan hutan produktif, maka sebelum HGU bisa diberikan, diperlukan izin pelepasan kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Masalah hadir ketika banyak perkebunan sawit yang mendapatkan HGU atau konsesi padahal berada di bekas kawasan hutan yang belum dilepaskan dengan benar. Hal ini sejalan dengan data yang dikeluarkan oleh ClientEart pada April 2025 yang menyebutkan bahwa 81% perkebunan sawit komersial di Indoensia tidak mematuhi persyaratan legal—misalnya tidak memiliki izin HGU, tidak menyisihkan lahan untuk plasma petani kecil, tumpang tindih izin, atau operasional di luar batas izinnya. Kondisi inilah yang menyebabkan pembukaan lahan sawit menjadi penyumbang deforestasi terbesar dan tambang illegal dan tambang berizin yang tidak mematuhi rencana reklamasi memperparah degradasi tanah. Selain peninjauan ulang seluruh izin perkebunan dan tambang di zona rawan bencana dan hulu DAS, pemerintah bisa mengintegrasikan satu peta izin (One Map Policy) agar tidak ada tumpang tindih antara hutan lindung, tambang, dan sawit.

Evaluasi Kebijakan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Terdapat banyak regulasi yang mengatur mengenai pelaksanaan dan pengelolaan DAS dan Sungai, diantaranya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (tidak berlaku lagi-digantikan UU No. 17 Tahun 2019) dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam kebijakan-kebijakan tersebut, pengelolaan DAS dilakukan secara terpadu dan dengan pendekatan ekosistem, yang artinya DAS diperlakukan sebagai satu kesatuan wilayah hidrologi dari hulu sampai hilir, bukan sekadar sungai saja; sehingga pengelolaan harus mempertimbangkan vegetasi, tata guna lahan, penataan ruang, dan dinamika alam C manusia. Masalahnya, banyak kerusakan hulu yang juga disebabkan oleh aktivitas industri ekstraktif sehingga banyak DAS yang mengalami sedimentasi berat. Hal ini sangat berbahaya ketika DAS tak lagi mampu menampung longsoran tanah dan debit air akibat cuaca ekstrem seperti yang terjadi di Sumatra. Untuk mengurasi resiko bencana yang sama, pemerintah perlu melakukan pembuatan buffer zone dan restorasi vegetasi minimal 50–100 meter di kiri–kanan sungai.

Tindak Tegas Praktik Pembalakan Liar
Pemandangan pasca banjir di Sumatra menjadi saksi bisu bagaimana banjir tak hanya membawa lumpur tebal, tapi juga gelondongan kayu dengan jumlah yang sangat banyak. Hal ini menjadi bukti bahwa kerusakan ini bukan hanya bencana alam, melainkan konsekuensi dari eksploitasi yang tak direm dan lemahnya pengawasan hutan. Restorasi hutan, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku illegal logging, serta pengawasan ketat konsesi hutan menjadi kebutuhan mendesak agar peristiwa serupa tidak terus berulang.

Reformasi Kebijakan Mitigasi Bencana dan Sistem Peringatan Dini
Sebelum bencana ekologi menerjang Sumatra, kekhawatiran masyarakat sudah terlebih dahulu muncul dengan dipotongnya alokasi resmi untuk BNPB dan beberapa fungsi BMKG. Kekhawatiran ini wajar adanya mengingat banyak wilayah-wilayah di Indonesia merupakan wilayah rentan bencana. Dalam sejumlah laporan yang dikumpulkan oleh penulis, pagu anggaran BNPB untuk RAPBN 2026 turun drastis menjadi sekitar Rp491 miliar—anggaran yang disebut sebagai terendah dalam 15 tahun terakhir. Pemotongan anggaran pada kedua lembaga tersebut membuat ruang gerak teknis mereka jadi lebih terbatas. Akibat nyata dari pemotongan anggaran ini bukan sekedar angka, melainkan titik-titik kerawanan di lapangan. Dalam liputan penanganan bencana di Sumatra, banyak Tim BNPB kesulitan menjaukan arena-arena yang terisolasi. Hal ini bukan hanya terputusnya akses utama, tetapi karena terbatasnya peralatan dan personil yang dimiliki. Dampak lainnya adalah BNPB akan kesulitan dalam memberikan respon cepat seperti pemenuhan logistik, posko, dan peralatan SAR ketika bencana besar datang bersamaan di beberapa wilayah. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah harus menetapkan ambang minimal anggaran mitigasi yang tidak mudah dipangkas di tengah efisiensi fiskal. Hal ini memberikan jaminan dan kepastian akan kelangsungan program peringatan dan rehabilitasi.

Dari Sumatra kita seharusnya belajar, bahwa bencana ekologis yang melanda bukan lagi peringatan, melainkan alarm keras bahwa tata kelola lingkungan kita sedang berada di titik kritis. Reformasi kebijakan bukanlah pilihan, tetapi keharusan. Pemerintah perlu bergerak cepat: memperketat regulasi, penegakan hukum tanpa kompromi, dan memastikan setiap pembangunan mematuhi batas ekologi. Tanpa langkah berani hari ini, bencana esok bukan hanya mungkin—tetapi pasti.

Komentar Facebook

Berita Terkait

Deforestasi Mempercepat Bencana: Sumatra Jadi Peringatan, Kalimantan Menyusul?
SERAKAHNOMICS DAN AMBRUKNYA KEADILAN EKOLOGI
Maju Mundur Tuntutan Reformasi 98: 5.000 Triliun Mengalir ke Luar Negeri Tiap Tahun
Hukum di Balik Transaksi Solar Non Subsidi Pertamina dengan Konsumen Industri
11 Wejangan Kebangsaan
Luka Rasisme yang Tak Disembuhkan
Memahami Karakter Kepemimpinan Prabowo: Arah & Harapan Papua ke Depan
Kita Songsong Transformasi Umrah 1447 H: Inovasi Saudi, Kesempatan Kita

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 10:44 WIB

Kasus Gratifikasi Rafael Alun: Hukuman Sudah Turun, Namun Para Pemberi Belum Tersentuh

Kamis, 4 Desember 2025 - 10:26 WIB

Pesantren Leadership Primago Depok & Pesantren Teknologi Informasi dan Komunikasi (PeTik) Sepakati Tingkatkan Kerjasama Antar Lembaga

Selasa, 2 Desember 2025 - 17:11 WIB

Aksi Damai di PN Kebumen: Suara Masyarakat Kecil untuk Sutaja Mangsur Menggema

Senin, 1 Desember 2025 - 13:25 WIB

YBM PLN Hadirkan Konsultan Pendidikan Islam Alumni Gontor Pada Kegiatan Capacity Building 2025

Minggu, 30 November 2025 - 19:43 WIB

Pemulihan Ekosistem Mendesak: PPASDA Peringatkan Bencana Hidrometeorologi Akan Terus Berulang

Sabtu, 29 November 2025 - 14:31 WIB

BSP 2025: Bendera Palestina Berkibar di Sungai Terpanjang Indonesia

Sabtu, 29 November 2025 - 11:39 WIB

Puluhan Mahasiswa Universitas Islam Darussalam (UNIDA Gontor) Tes Minat, Bakat  dan Potensi Diri Melalui Tes Primagen

Sabtu, 29 November 2025 - 10:12 WIB

MI MUMTAZA ISLAMIC SCHOOL  Gelar Kegiatan Perkemahan Jumat – Sabtu (Perjusa) Tahun 2025 Bersama Dirgantara Outbond Training

Berita Terbaru

Opini

Pemerintah, berbenahlah!

Kamis, 4 Des 2025 - 13:34 WIB