Oleh: Muhammad Khairi
(CEO KIAS Travel)
Di tengah gelombang modernisasi yang terus bergulir di tanah suci, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi kembali mengambil langkah besar dalam mengelola pelaksanaan umrah.
Melalui surat edaran resmi yang disampaikan Kerajaan Saudi kepada asosiasi HIMPUH (Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji Khusus) tertanggal 9 Dzulhijjah 1446 H, para penyelenggara umrah di Indonesia kini dihadapkan pada sebuah babak baru dalam tata kelola layanan umrah untuk musim 1447 Hijriah.
Surat edaran ini bukan sekadar regulasi administratif. Ia adalah cermin dari visi besar Saudi Arabia dalam menata ulang seluruh ekosistem haji dan umrah — dengan teknologi sebagai poros utamanya.
Ada empat poin utama dalam edaran tersebut, mulai dari: kewajiban penggunaan hotel bertasreh aktif, penyesuaian data pemesanan dengan program, persetujuan pemesanan di platform Nusuk, hingga kewajiban adanya MoU antara penyelenggara umrah dan provider visa.
Itu sesungguhnya merupakan titik simpul dari arah baru yang lebih sistematis, transparan, dan terintegrasi secara digital. Tujuan akhirnya jelas: melindungi jemaah, memperkuat kepastian layanan, dan mengikis habis praktik percaloan serta ketidakpastian harga yang seringkali menjerat penyelenggara dan jemaah.
Lebih dari itu, kebijakan ini merupakan bagian dari transformasi digital besar-besaran yang sedang dilakukan Kerajaan Saudi.
Investasi triliunan riyal telah digelontorkan untuk membangun sistem smart pilgrimage, termasuk pengembangan kecerdasan buatan (AI) yang mampu menganalisis data jutaan jemaah demi menciptakan pelayanan yang lebih manusiawi, terukur, dan responsif.
Kita menyaksikan bagaimana aplikasi Nusuk, misalnya, telah berkembang menjadi platform yang tidak hanya mempermudah pemesanan layanan umrah, tetapi juga menjadi instrumen kendali yang merevolusi proses verifikasi hotel, visa, hingga pergerakan jemaah.
Tak kalah penting, di balik digitalisasi ini juga terselip agenda ekonomi yang strategis. Saudi Arabia tengah mengupayakan optimalisasi penerimaan pajak dari sektor pariwisata religi, sekaligus mengalihkan pola transaksi ke arah cashless dan tercatat.
Dengan sistem yang terintegrasi, pemerintah Saudi dapat memastikan bahwa setiap riyal yang dibayarkan — baik untuk akomodasi, visa, atau layanan lainnya — masuk melalui kanal resmi dan dapat diaudit secara real time. Ini adalah bagian dari transformasi ekonomi yang lebih luas, sebagaimana dirancang dalam Visi 2030.
Sebagai penyelenggara umrah dari Indonesia, kita tidak bisa lagi sekadar menjadi penonton dari revolusi ini. Justru inilah saatnya untuk berbenah, beradaptasi, dan mengambil bagian dalam ekosistem baru yang lebih transparan dan profesional.
Kita perlu berbenah, tak hanya demi menjaga nama baik, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab moral untuk menghadirkan pengalaman ibadah yang nyaman, aman, dan bermartabat bagi jutaan umat Islam Indonesia.
Mari kita sambut edaran ini bukan sebagai beban administratif, melainkan sebagai panggilan untuk naik kelas. Kita sedang menyongsong masa depan umrah yang lebih cerdas — bukan hanya secara teknologi, tetapi juga secara niat dan integritas.
Di era di mana sistem yang rapuh tak lagi punya tempat, hanya mereka yang berani berubah dan bersinergi dengan kemajuanlah yang akan tetap relevan.