Deforestasi Mempercepat Bencana: Sumatra Jadi Peringatan, Kalimantan Menyusul?
Oleh : Maulana Fikry, S.H (Putra Kalimantan dan Wabendum PB HMI bidang Kumhankam)
Bencana alam yang kembali melanda Sumatra—banjir bandang, tanah longsor, serta kerusakan infrastruktur vital—menegaskan bahwa hubungan antara curah hujan ekstrem dan kerusakan lingkungan semakin tidak dapat dipisahkan. Curah hujan tinggi adalah bagian dari dinamika iklim tropis, namun dampaknya menjadi jauh lebih destruktif ketika tutupan hutan yang semestinya menjadi benteng ekologis telah menyusut tajam.
Hutan berfungsi menyerap air, memperkuat tanah, serta menahan aliran permukaan. Ketika deforestasi berlangsung tanpa kendali, tanah kehilangan daya dukungnya sehingga air mengalir cepat, merusak, dan sering kali mematikan.
Di balik setiap bencana, tersimpan fakta bahwa pembangunan yang mengabaikan keseimbangan alam pada akhirnya menimbulkan ongkos sosial, ekonomi, dan kemanusiaan yang jauh lebih besar. Sumatra kini menjadi contoh nyata bahwa pendekatan pembangunan yang eksploitatif tidak lagi relevan dengan tantangan perubahan iklim dan dinamika cuaca ekstrem.
Perusahaan yang membuka lahan tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungan, serta institusi yang gagal menegakkan hukum secara konsisten, harus menjadi fokus evaluasi. Tidak cukup hanya memperbaiki infrastruktur setelah bencana, melainkan harus ada perubahan paradigma dalam pengelolaan ruang dan sumber daya alam.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu membangun sistem pengawasan tata ruang yang lebih ketat, mengakselerasi reforestasi di wilayah rawan, dan memperkuat sistem peringatan dini berbasis teknologi. Bencana yang terjadi berulang menandakan ada yang salah dalam perencanaan maupun kebijakan. Tanpa koreksi yang menyentuh akar persoalan, Sumatra akan selalu berada di bawah ancaman krisis ekologis yang berkepanjangan.
Sementara itu, Kalimantan berada pada persimpangan krusial. Dengan masifnya pembangunan kawasan industri, aktivitas pertambangan, perkebunan skala besar, serta proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), potensi bencana hidrometeorologi semakin mengemuka. Meskipun Kalimantan selama ini dikenal sebagai paru-paru Indonesia, tekanan terhadap ekosistemnya meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir. Jika tidak dikelola dengan kehati-hatian, Kalimantan dapat menempuh jalur yang sama seperti Sumatra—mengabaikan peringatan alam hingga akhirnya menghadapi bencana berskala besar.
Antisipasi di Kalimantan tidak boleh bersifat reaktif; harus preventif, terencana, dan berbasis ilmu pengetahuan. Ada beberapa langkah konkret yang perlu segera dilakukan:
1. Perlindungan Ketat Hutan Primer dan Koridor Keanekaragaman Hayati
Pemerintah harus menegaskan zona larangan eksploitasi pada hutan primer, kawasan sempadan sungai, serta daerah tangkapan air. Koridor ekologis yang menghubungkan hutan-hutan besar wajib dipertahankan agar fungsi hidrologis tetap bekerja optimal.
2. Rehabilitasi Gambut dan Pengawasan Lahan Gambut secara Berkelanjutan
Lahan gambut Kalimantan adalah penyimpan karbon sekaligus regulator air alami. Restorasi kanal-kanal yang dibuka untuk kepentingan industri, pembasahan kembali gambut, serta penegakan hukum terhadap pembakaran lahan harus dilakukan secara konsisten.
3. Pembatasan Ketat Izim Pembukaan Lahan Baru
Moratorium izin baru untuk perkebunan, tambang, dan HGU di wilayah dengan risiko tinggi banjir atau longsor perlu ditegakkan. Evaluasi izin lama yang bermasalah harus dilakukan secara transparan.
4. Penguatan Sistem Pemantauan Cuaca dan Debit Sungai Real-Time
Pemasangan sensor hujan, pengukur debit sungai, dan early warning system di DAS (Daerah Aliran Sungai) kritis seperti Mahakam, Barito, dan Kapuas penting untuk mempercepat respon masyarakat jika terjadi potensi banjir besar.
5. Pengelolaan Tata Ruang yang Berbasis Risiko Bencana
Setiap pembangunan di Kalimantan, termasuk kawasan IKN, harus menggunakan peta risiko bencana sebagai acuan utama, bukan sekadar potensi ekonomi. Infrastruktur hijau seperti ruang terbuka hijau, hutan kota, dan sabuk vegetasi wajib menjadi bagian dari perencanaan.
6. Pelibatan Komunitas Adat dan Masyarakat Lokal
Masyarakat adat telah berabad-abad menjaga hutan dengan pengetahuan ekologis yang kaya. Mereka tidak boleh hanya menjadi penonton pembangunan, tetapi harus menjadi mitra utama dalam pengawasan lingkungan dan mitigasi bencana.
Pada akhirnya, bencana bukan semata-mata tentang alam yang murka; ia adalah refleksi dari tata kelola manusia yang lalai membaca tanda-tanda. Sumatra memberikan peringatan keras bahwa kerusakan lingkungan tidak mengenal kompromi. Kalimantan, dengan segala potensi dan perannya yang vital bagi masa depan bangsa, diberi kesempatan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun kesempatan ini tidak akan berarti tanpa komitmen yang kuat terhadap keberlanjutan.
Ekonomi dapat tumbuh kembali, infrastruktur dapat dibangun ulang. Tetapi hutan yang hilang, gambut yang rusak, dan tanah yang terdegradasi memerlukan waktu satu hingga beberapa generasi untuk pulih. Di titik inilah komitmen ekologis harus menjadi fondasi dari setiap arah pembangunan. Masa depan Kalimantan—dan Indonesia—bergantung pada keberanian kita untuk memilih jalan pembangunan yang lebih bijak, lestari, dan berkeadilan ekologis.























