Siaranindonesia.com – Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, Ph.D memandang bahwa penyesuaian harga BBM merupakan kebijakan terbaik yang harus diambil. Hal ini dikarenakan, negara memikirkan dampak jangka panjang di tengah kenaikan harga minyak dunia yang sangat melonjak tinggi agar APBN tidak mengalami defisit.
“Banyak orang berpikir bahwa kenaikan BBM hanya terjadi di masa sekarang saja, padahal tidak. Sejak Presiden Soekarno hingga saat ini, data menunjukkan sudah 62 kali penyesuaian harga BBM, Presiden Soekarno 3 Kali, Presiden Jokowi 10 kali, dan yang tidak melakukan adalah Presiden Habibi karena saat itu situasinya berbeda”, ujar Teguh dalam program Speak After Lunch iNews TV (5/9/2022).
Ia juga menilai bahwa posisi Indonesia saat ini yang sebagai net importir BBM, menyebabkan pembelian menggunakan ketentuan harga minyak dunia dan saat akan dijual memakai harga domestik. Sehingga terdapat selisih besar yang ditanggung APBN dan akan berpotensi defisit di tengah kenaikan harga minyak dunia saat ini.
Disisi lain, teguh juga menilai bahwa pemerintah sudah mengantisipasi dampak penyesuaian BBM. “Ketika Pemerintah sudah menaikkan harga BBM, implikasinya memang cukup banyak di dalam konteks makroekonomi. Tetapi yang pertama adalah fiskal APBN lebih sehat dan yang kedua memang dengan penyesuaian harga ini akan mengurangi konsumsi bahan bakar minyak dan mengurangi impor BBM, sehingga mampu melonggarkan tekanan kepada nilai tukar”, ujarnya.
Terkait dampak lainnya, ia memandang bahwa dampak dari kenaikan BBM saat ini tidak sebesar dampak Covid-19. Oleh sebab itu, penyaluran BLT yang dilakukan pemerintah adalah langkah yang tepat. Teguh juga meyakini bahwa Kemensos telah menyiapkan data untuk menyalurkan bantuan agar dapat didistribusikan kepada pihak masyarakat yang berhak.
“Pemerintah telah memiliki pengalaman yang cukup panjang terkait Bantuan Sosial dan cukup siap dengan penyesuaian harga BBM. Dan juga patut diingat, saat pandemi Covid-19 kemarin pemerintah telah banyak memberikan bantuan sosial dan merupakan bentuk mitigasi dampak Covid-19.”. Pungkasnya.
Teguh juga berpendapat bahwa Pemerintah diharapkan mampu mengalihkan sebagian subsidi BBM untuk pengembangan Energi Baru dan Terbarukan, seperti insentif penggunaan solar panel di rumah tangga, untuk mendorong pengembangan indsustri-industri yang ramah lingkungan.
Terkait respons masyarakat, ia menilai bahwa sebagai negara demokrasi, demo merupakan hal yang wajar manun harus menghindari anarkisme.
“Dalam hal ini, yang seharusnya dapat disuarakan adalah bukan terkait penurunan BBM, tetapi memastikan Pemerintah agar bantuan sosial kepada masyarakat bawah itu dilaksanakan dengan baik”, ujar teguh.
Ia mengatakan bahwa Kenaikan harga BBM ini harus dilihat sebagai sebuah kesempatan melakukan reformasi kebijakan energi nasional.
“Ini menjadi kesempatan Pemerintah untuk fokus melakukan transisi energi ke arah yang lebih hijau dan sustainable”, pungkasnya.