Oleh: Alman
INDONESIA adalah sebuah lahan investasi bagi kehidupan umat beragama. Disisi agama apa saja bisa tumbuh dan berkembang. Hanya saja, semuanya harus tunduk dan patuh terhadap aturan dalam berbangsa dan bernegara. Ada enam agama besar yang diakui oleh Pemerintah, dan selebihnya ada puluhan bahkan ratusan aliran kepercayaan bersifat lokal yang tersebar diberbagai penjuru negeri. Sedangkan Islam menjadi agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia yang populasi mencapai sekitar 85%. Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia kian hari kian menghadapi tantangan yang cukup berat, terutam bagi kalangan muslim. Pasalnya saat ini tidak sedikit yang masih mempertanyakan. “Mengapa Indonesia tidak dibentuk Negara Islam?” tidak sampai disitu. Ada gerakan-gerakan radikal yang berupaya merongrong kedaulatan NKRI dengan sistem khilafah. Ada juga upaya-upaya yang melakukan propaganda, misalnya demokrasi sebagai sistem kufur, dan harus diganti dengan sistem khilafah, ada juga upaya-upaya yang melakukan pembenturan demi merusak keharmonisan bangsa. Tantangan lainnya adalah mulai pudarnya spirit rahmatan lil’alamin dalam diri sebagian muslim dari situ dapat dirasakan bahwa kejerniaan berpikir dan kearifan dalam berprilaku kini tampaknya menjadi sesuatu yang mulai langka.
Silaturahmi Lintas Agama
Secara universal silaturahmi bukan hanya tradisi ritual sosial umat islam saja, tetapi juga milik semua umat. Silaturahmi yang sudah terbukti ampuh ini sangat relevan untuk dibudayakan terutama bagi masyarakat Indonesia multikultur. Apalagi jika di tengah situasi dan kondisi bangsa saat ini yang rentan akan perpecahan, konflik dan lain sebagainya dikalangan masyarakat, bahkan konflik yang mengatasnamakan SARA. Lalu benarkah dalam Islam mengajarkan untuk silaturahmi lintas agama? Jika kita menilik kisah rasulullah dengan pemeluk agama lain, Rasul telah memberikan teladan kepada kita melalui perilakunya tentang bagaimana membina hubungan dangn umat agama lain. Misalnya, dahulu Rasulullah bersama khadijah, istrinya, menemui Waraqah bin Naufal seorang penganut Nasrani yang membenarkan kenaibian Muhammad sebagaimana landasan yang dijelaskan dalam Kitab Injil yang masih eutentik yang pernah ia pelajari.
Juga pengalaman Rasulullah dalam berjuang mensyiarkan agama islam, ia dibantu oleh pamannya sendiri Abu Thalib yang notabene saat itu secara lahiriyah tidak pernah menyatakan untuk memeluk agama islam. Selain itu, Rasulullah di masa awal-awal kenabiannya menjalin diplomasi secara baik-baik dengan raj-raja di Semenanjung Arab untuk mengajak masuk Islam melalui cara damai. Bahkan ada suatu kisah yang populer yakni Rasulullah selama di Madinah sering memberi serta menyuapi makanan kepada seorang perempuan Yahudi buta yang sering menghina dan mencaci maki sang Rasul. Kemudian sepeninggalan Rasulullah, ia baru mengetahui bahwa selama ini orang yang menyuapinya makanan adalah Nabi Muhammad, lalu sekatika ia menangis, menyesali diri dan memutuskan untuk masuk Islam. Gus Dur dalam Islamku Islam Anda Islam Kita (2006: 134), perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerja sama antarIslam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Sehingga sangat penting para pemuda Islam menjalin silaturhami lintas agama, dengan dalil dan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menembus Keragaman dengan Toleransi dan Kerjasama
Toleransi dan kerja sama bukan hanya kepada umat yang sama dalam keyakinan agama, namun justru tidak sedikit perbedaan lintas agama, mazhab atau ormas yang tidak jarang menghambat perkembangan umat Islam. Toleransi bukan semata-mata persoalan prosedur pergaulan untuk kerukunan hidup, tapi lebih mendasar daripada itu merupakan persoalan prinsip ajaran kebenaran. Oleh karena itu, toleransi menjadi fondasi dasar agar kerja sama tersebut bisa terjalin baik. Tidak akan mungkin ada kerja sama tatkala masing-masing umat beragama membuat standar ganda kepada kelompok-kelompok lainnya. Lebih luas lagi, tidak akan mungkin ada kesejahteraan dan kedamaian suatu bangsa dan negara kalau umat beragam masih sibuk mempertentangkan perbedaan. Biarlah perbedaan dan keragaman tersebut menjadi plus point bukan malah menjadi duri yang menancap di kaki sehingga langkah menuju kemajuan bangsa akan selalu tersoek-soek.
Bagi Gus Dur (M. Zidni Nafi, 2018: 122), perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerja sama antar-Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerja sama itu, tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktik kehidupan apabila ada dialog antar agama. Selain itu, menurut Kiai Said Aqil Siradj (M. Zidni Nafi, 2018: 122), yang tidak kalah penting adalah penghormatan atas nilai-nilai dan hal-hak asasi manusia (HAM) sebagai bagian integral dalam ajaran Islam. Padahal, nilai-nilai tersebut menjadi pilar sangat penting bagi pembentukan masyarakat sipil yang plural, yakni sebuah masyarakat yang dibangun atas dasar persaudaraan lintas iman, ukhuwah imaniyah.
Dengan demikian, kerja sama yang menembus batas-batas keragaman identitas memang patut dibudayakan. Itu semestinya sebagai pendorong pada rel kebangsaan kita sebagai negara kesatuan dalam merai perdamaian dunia, terutama di tengah kemelut konflik paradigma keagamaan yang bias saat ini. Apabila kita semua pemeluk agama yang sama maupun berbeda bersedia budayakan kembali untuk saling mengenal dan saling memahami, maka akan banyak berkah, kebaikan dan inspirasi demi menata keharmonisan dan kerukunan. Kemudian saling berkomitmen kuat, bahwa hidup bukan sebatas kemenangan apalagi kekuasaan belaka tetapi harus lebih pada konteks mawas diri kemanusiaan, bukan untuk membuat musuh, tetapi kesejahteraan dan kebahagiaan yang kita harus bangun bersama.