LUKA PAPUA SUDAH MEMBUSUK DAN BERNANAH
Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman, MA
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
“Kamu bisa mengalahkan 30 orang pintar dengan 1 fakta, tapi kamu tidak bisa mengalahkan 1 orang bodoh dengan 30 fakta sekalipun” -BJ. Habibie”.
Pada kesemptan Diskusi Publik dan Seruan Damai yang diselenggarakan Pokja Agama Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Tengah, tanggal 31 Mei 2025, saya menulis paper dengan judul: “Papua Sudah Menjadi Luka Membusuk dan Bernanah di Dalam Tubuh Bangsa Indonesia”. Isi tulisan dari paper ini, saya ingin menyampaikan penggambaran dan asesmen kehidupan Penduduk Orang Asli Papua (POAP) dari para pakar, ilmuwan, peneliti, rohaniawan, akademisi, pengamat dan tokoh.
Saya mengangkat penggambaran dan penilaian kebanyakan dari perspektif orang-orang non Papua supaya lebih obyektif dan jernih melihat kekerasan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama 62 tahun sejak 1 Mei 1963.
Pertanyaan saya ialah apa dan bagaimana mereka melihat tantangan kemanusiaan, rasisme, ketidakadilan, dan marginalisasi POAP secara sistematis yang dilakukan selama ini.
Mengutip Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno yang dengan tepat mengatakan: “Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah Luka Membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme, 2017:255).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan: “Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Pastor Frans Lieshout, OFM Gembala dan Guru Bagi Papua 2020:601).
Lebih jauh Pastor Frans Lieshout mengungkapkan: “..Orang tidak mau mendengar orang Papua, apa yang ada dihati mereka, aspirasi mereka. Aspirasi itu dipadamkan dengan senjata, kita harus mengutuk itu. Pendekatan Indonesia terhadap Papua harus kita kutuk. Orang Papua telah menjadi minoritas di negerinya sendiri. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (399, 601).
Sementara Ibu Dr. Anti Solaiman mengatakan: “Papua itu luka dan isi lima buku Markus Haluk itu berisi luka semuanya yang belum ada solusinya. Luka itu bukan hanya dialami generasi tua, melainkan juga sudah dialami generasi anak dan bahkan generasi cucu” (Membawa Keadilan dan Damai ke Tanah Papua: 2024:11).
Pendeta Gomar Gultom, Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada suatu diskusi tentang Papua pernah mengungkapkan: “Persoalan Papua hari ini sudah seperti luka bernanah yang belum sembuh, belum kering nanahnya tapi muncul luka yang baru di atasnya” (Pdt. Ronald Rischard Tapilatu: Membawa Keadilan dan Damai ke Tanah Papua: 2024, xvi).
*Militerisasi di Tanah Papua*
Wajah militer Indonesia di Tanah Papua Barat digambarkan dengan jelas dan terang oleh alm. Frans Lieshout, OFM tentang pengalamannya sekitar 62 tahun silam tepatnya pada 1 Mei 1963.
“Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan. Tentara yang diutus itu merupakan kelolompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.
Alm. Herman Wayoi mengabadikan pengalamannya sebagai berikut:
“Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggantinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia….Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di Tanah ini. Rakyat Papua yang terbunuh dalam operasi-operasi militer di daerah-daerah terpencil atau pelosok pedalaman dilakukan tanpa prosedur dan pandang bulu apakah orang dewasa atau anak-anak. Memang ironis, ketidakberpihakan hukum yang adil menyebabkan nilai orang Papua dimata aparat keamanan tidak lebih dari seekor binatang buruan”. (Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat, Socratez Yoman, 2007:142-143).
A.C. Manulang Pengamat Intelijen mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) pernah mengatakan: “Bukan tidak mungkin dan jarang terjadi jika berbagai kerusuhan di berbagai daerah terlepas dari aktor intelektual dari Jakarta. Sangat mungkin kerusuhan ini didesain dari Jakarta dengan berbagai tujuan….”. (Sumber: Indopos, 04 November 2012…lihat Buku Otonomi Khusus Papua Telah Gagal, Socratez Yoman, 2012:215).
Semua konflik di Tanah Papua Barat diciptakan dan dirawat untuk kepentingan pengambilalihan Sumber Daya Alam (SDA) dengan menyingkirkan, melumpuhkan, memiskinkan POAP. Faktanya, penguasa Indonesia tidak tertarik dengan POAP dan POAP dilihat dan dinilai sebagai penghalang dan beban yang perlu ditiadakan dari Tanah leluhur mereka.
Sumber-sumber dan penyebab luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia ialah Kolonialisme, Kapitalisme, Rasisme, Ketidakadilan, Marjinalisasi yang masih beroperasi hingga kini.
Untuk mengobati dan menyembuhkan LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia, ada kesepakatan dan solusi politik antara Indonesia dan rakyat Papua yang didukung komunitas internasional ialah Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001. Namun demikian, solusi politik itu tak menjawab penyelesaian persoalan dan dalam era Otonomi Khusus, justru pelanggaran HAM meningkat tajam. Tidak ada recognition (pengakuan), pritection (perlindungan), affirmation action (keberpihakan), empowering (penguatan) terhadap POAP.
Dan juga dalam era Otonomi Khusus 2001 hak-hak politik OAP dikuasai oleh orang-orang pendatang. Terlihat dalam kursi-kursi anggota DPR di beberapa kabupaten, kota dan provinsi didominasi dan diduduki oleh orang-orang pendatang.
Otonomi Khusus Jilid II yang dirancang sepihak penguasa kian merawat LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Yang jelas dan pasti, Otonomi Khusus Jilid I dan II bukan solusi, tapi sudah menjadi masalah baru. Slogan KESEJAHTERAAN yang bukan akar masalah dan kata ini hanya diulang-ulang sejak 14 Juli 1969 di Merauke dan menjadi tameng untuk memperpanjang penderitaan rakyat Papua.
Pemekaran banyak provinsi boneka Indonesia juga bukan jalan penyelesaian akar konflik Papua, tapi upaya pemerintah untuk memarginalkan OAP dengan jalan senyap.
Penyebab LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kine dikenal dengan nama BRIN yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua.
Empat pokok akar konflik dirumuskan (LIPI) tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; dan
4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Untuk mengakhiri semua persoalan diatas, maka saya mengusulkan beberapa jalan keluar:
1) Miminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 64 tahun sejak 19 Desember 1961.”
2) Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme dan siklus kekerasan sistemik terhadap OAP yang terus-menerus meningkat dengan jalan membuka ruang perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005.
3) Saya minta Presiden Prabowo Subianto menghentikan operasi militer di Nduga dan Kabupaten Intan Jaya dan di seluruh Tanah Papua Barat dari Sorong-Merauke. Jangan mengusir rakyat dari tanah leluhur mereka dengan alasan ada Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Alasan sebenarnya ialah berburu tambang di kampung halaman mereka.
4) Pada kesempatan ini saya sampaikan kepada Presiden Prabowo menunjuk Special Envoy (Utusan Khusus) dalam rangka proses penyelesaian konflik Papua Barat supaya Utusan Khusus bertugas untuk mengadakan komunikasi dengan para pejuang Papua Barat merdeka dan juga sebagian rakyat dan bangsa Papua Barat yang berbeda ideologi dengan Indonesia.
5) Majelis Rakyat Papua harus berperan aktif untuk memperjuangkan recognition (pengakuan), protection (perlindungan), affirmation action (keberpihakan), empowering (penguatan) terhadap Penduduk Orang Asli Papua. Contohnya Tanah POAP harus dilindungi dan dilarang diperjualbelikan. Perlu dicanangkan kampanye terus menerus “TANAH JANGAN DIJUAL”.
Melihat secara utuh dan terpadu semua ungkapan dan pernyataan yang keluar dari hati nurani dan pikiran mulia Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto, saya yakin, Presiden Prabowo akan mengambil langkah-langkah yang baik dan positif untuk mengakhiri konflik di Papua dan memberikan rakyat Papua keadilan.