Resensi Buku
Menelusuri Jejak yang Terkaburkan: Ketika Kejujuran Harus Dibayar Kebiadaban
Judul Buku: Hoax or Not: Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu
Penulis: Wahyu Nur Hidayat
Penerbit: As Books
Cetakan: Pertama, November 2024
Tebal: ±60 halaman
Presensi: Nasikin (Santri Pesantren di Kebumen)
Di tengah maraknya glorifikasi sejarah yang lebih didorong oleh hasrat simbolik ketimbang data, Hoax or Not PP. Al-Kahfi Somalangu ini hadir sebagai suara jernih yang menolak untuk larut dalam arus kebohongan kolektif. Buku ini bukan hanya karya intelektual, ia adalah kesaksian jiwa. Sebuah upaya penuh keberanian dari seorang anak bangsa yang memilih berdiri tegak meski di bawah bayang-bayang ancaman dan ketakutan.
Ia merupakan Wahyu Nur Hidayat, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Wahyu, yang juga cucu dari KH. Abdullah Siradj Aly. Sosok yang dalam diamnya menyimpan keberanian besar, dan dalam tulisannya menghadirkan ketulusan yang menyala. Ia bukan penulis baru. Sebelumnya, ia telah banyak menelurkan karya-karya yang berpihak pada mereka yang sering dilupakan sejarah—kaum kecil, suara pinggiran, dan mereka yang terpinggirkan oleh narasi besar. Di mata banyak orang, Gus Wahyu bukan sekadar penulis—ia adalah pembela kebenaran yang tak kenal lelah, sosok yang lebih memilih jujur meski harus menanggung derita.
BACA JUGA:
– Kitab Berbahasa Arab “As-Siraj”, karya Gus Wahyu NH. Aly
– Novel Metamorfosis Cinta, Perlawanan Santri Terhadap Kyai, karya Gus Wahyu NH. Aly
Dan derita itu benar-benar datang. Buku ini ditulis tak lama setelah Gus Wahyu menjadi korban pengeroyokan brutal oleh puluhan alumni dan santri Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu. Peristiwa iblis berwajah santri itu terjadi di hadapan istrinya—yang belum lama melahirkan anak mereka—dan yang diduga menurut Gus Wahyu, peristiwa biadab itu diduga atas perintah dari KH. Afifudin Chanif, pengasuh pesantren yang menjadi subjek utama kritik dalam buku ini. Akibat penganiayaan itu, ia harus menjalani perawatan di rumah sakit selama hampir sepekan. Luka fisiknya mungkin sembuh, tapi luka batinnya—yang datang dari pengkhianatan orang-orang yang dulu bersamanya dalam ruang-ruang ilmu—barangkali akan menetap selamanya.
Namun dari luka itulah lahir keberanian yang lebih besar. Dalam buku ini, Gus Wahyu mengajak kita membongkar klaim-klaim sejarah yang selama ini dianggap sakral: dari narasi Al-Kahfi Somalangu sebagai pesantren tertua di Asia Tenggara, silsilah dzurriyah Nabi, prasasti Zamrud Siberia, hingga kisah mistis asal-usul dari Al-Shihr, Yaman. Semua ditelaah dengan pendekatan historis yang ketat, logika yang jernih, dan nalar kritis yang tetap santun.
Yang menjadi titik berat buku ini bukan hanya isinya, melainkan sikap batin penulisnya. Ia mengingatkan kita akan bahaya doktrin—saat keyakinan berubah menjadi senjata, dan ajaran ditafsirkan sebagai dogma absolut yang membutakan cinta kasih dan akal sehat. Di tangan Gus Wahyu, sejarah tak lagi menjadi alat pengkultusan, tetapi ruang dialog, ruang perenungan, dan ruang pemurnian niat.
Terakhir, bacalah buku ini tidak hanya dengan kepala, tetapi juga dengan hati. Karena di balik tiap kata yang ditulis, ada luka yang berdarah, ada keberanian yang diuji, dan ada cinta yang tulus kepada pesantren sebagai pilar peradaban—yang seharusnya berdiri di atas kejujuran, bukan kepalsuan. Sebuah bacaan wajib bagi siapa saja yang mencintai pesantren, kebenaran, dan masa depan Islam yang waras dan membebaskan.
Download Buku (PDF): Hoaks Or Not PP. Al-Kahfi Somalangu























