SERAKAHNOMICS DAN AMBRUKNYA KEADILAN EKOLOGI
Oleh: Muhammad Risal (Direktur Gen-ID Foundation)
Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat di akhir November 2025 bukan hanya musibah alam. Bencana berupa banjir bandang dan longsor adalah akumulasi panjang dari kebijakan pembangunan yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas keselamatan ekologis. Ketika investasi ekstraktif sumber daya alam (SDA) dijalankan tanpa pagar tata ruang dan tanpa etika ekologis, maka keruntuhan bentang alam hanyalah soal waktu. Inilah yang disebut sebagai serakahnonomics atau model ekonomi yang berorientasi pada akumulasi sumber daya secara ugal-ugalan, sentralistis dan mengabaikan aspek keadilan sosial serta keberlanjutan lingkungan.
Praktik akumulasi kekuasaan ekonomi yang dijalankan tanpa mempertimbangkan batas-batas ekologi sejatinya hanya menunda lahirnya krisis sumber daya dan degradasi lingkungan. Pertumbuhan yang dipaksakan atas nama pembangunan, tetapi mengabaikan daya dukung alam dan keselamatan ruang hidup warga, pada akhirnya menjadi bom waktu. Alih-alih menciptakan kemakmuran, pendekatan semacam itu justru memperluas deforestasi, krisis air, konflik agraria, hilangnya mata pencaharian, hingga meningkatnya risiko terjadinya bencana.
Serakahnonomics menjadi suatu parkatik yang sangat berorientasi pada pertumbuhan yang rakus ruang dan mengabaikan daya dukung ekologi, dan menempatkan Indonesia pada jalur bencana ekologis yang berulang. Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat hanyalah etalase dari krisis yang lebih besar. Kita membutuhkan paradigma pembangunan baru yang berpihak pada keselamatan ekologis dan keadilan antargenerasi.
Pola Kerusakan di Tiga Wilayah
Kita dapat melihat korelasi kuat antara intensitas eksploitasi SDA dan risiko bencana ekologis di tiga wilayah Sumatera, yaitu Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Aceh mengalami peningkatan fragmentasi hutan penyangga akibat pembukaan lahan agribisnis dan kebijakan pelepasan kawasan hutan. Meski memiliki tutupan lahan (land cropping) yang luas, kegiatan membuka kawasan hutan akan melemahkan ketahanan ekologis sehingga memperburuk risiko banjir bandang. Berbeda dengan Sumatera Barat yang kian menghadapi krisis akibat peningkatan tajam aktivitas pertambangan yang tidak disertai AMDAL yang ketat, transparansi, dan izin pertambangan yang berada dekat lereng curam.
Sementara di wilayah Sumatera Utara mengalami konversi hutan menjadi kebun sawit secara masif. Ekspansi ke kawasan hutan lindung maupun APL mempersempit serapan air, merusak daerah aliran sungai (DAS), dan menurunkan stabilitas hidrologi. Banyak pembukaan lahan dilakukan dengan dalih land clearing, sementara proses perizinan berjalan cepat tanpa audit ekologis yang memadai. Tak heran jika daerah hilir seperti Langkat, Deli Serdang, dan Medan kerap dilanda banjir besar. Hutan yang seharusnya menjadi penyangga justru berubah menjadi pola tanaman monokultur yang kemampuan daya sangganya rendah. Menurut GFW (Global Forest Wacth), pada 2024 Sumatera Utara telah kehilangan sekitar 8,1 kha (8.100 hektare) hutan alam.
Tiga wilayah ini menghadapi satu pola kerusakan yang sama, dengan jejak serupa, yaitu adanya praktik pembukaan lahan yang tidak terkendali, izin yang longgar, dan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Tiga pola kerusakan, tetapi satu akar persoalan, yakni eksploitasi SDA yang melampaui batas daya dukung lingkungan. Meski berada di lokasi berbeda, ketiganya menunjukkan satu pesan penting bahwa ketika kebijakan tidak berpihak pada kelestarian alam, kerusakan akan menyebar dengan pola yang sama.
Beban Ekologi di Atas Pertumbuhan Ekonomi
Pemerintahan Prabowo tengah memperkuat strategi pertumbuhan ekonomi berbasis investasi, terutama pada sektor sumber daya alam: pertambangan, energi, kehutanan, perkebunan, dan perikanan. SDA kembali menjadi engine of growth. Namun model pertumbuhan ini bersifat dual-impact: di satu sisi mendorong output ekonomi, di sisi lain menciptakan risiko ekologis dan sosial yang kian tak terkendali. Sejumlah laporan memperlihatkan arah yang mengkhawatirkan. WALHI melaporkan terdapat 30 juta hektare hutan Indonesia telah dibebani izin di sektor kehutanan dan laporan Greenpeace menunjukkan hilangnya 27 juta hektare tutupan hutan dalam dua dekade (2001–2019).
Pemerintah melalui KLHK mencatat bahwa deforestasi netto Indonesia pada 2024 mencapai 175,4 ribu hektare. Sementara data Laporan Auriga Nusantara menunjukkan deforestasi di Indonesia meningkat pada tahun 2024, mencapai 261.575 ha. Data lain juga disajikan oleh JATAM yang mencatat di wilayah Halmahera Maluku Utara telah kehilangan tutupan pohon seluas 160.200 hektare yang tersebar di tiga wilyah, antara lain Halmahera Tengah sebesar 27.900 hektare, Halmahera Timur 56.300 hektare, dan Halmahera Selatan 79.000 hektare. Sebagian besar tutupan pohon yang hilang berkaitan dengan ekspansi tambang nikel di wilayah tersebut. Data-data di atas menunjukkan satu hal, yaitu laju percepatan ekspansi izin dan investasi berjalan begitu cepat dibandingkan dengan kemampuan negara dalam mengawasi kerusakan ekologisnya.
Pertumbuhan ekonomi seringkali mengimplikasikan terjadinya pemiskinan lingkungan (environmental poverty).Tentunnya ada konsekuensi ekologis serius dan biaya mahal yanh harus dibayarkan dari investasi yang bersifat eksploitatif. Berbagai jenis aktivitas manusia seperti alih fungsi lahan, penebangan pohon, dan lainnya menjadi faktor terjadinya degradasi lingkungan yang memicu terjadinya bencana ekologis. Oleh karena itu, pemanfaatan ruang dan daya dukung SDA perlu diperhatikan secara tepat, melalui suatu perencanaan tata ruang wilayah yang berkeadilan.
Tata Ruang, Bukan Tata Eksploitasi
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan asas keberlanjutan, keterpaduan, efisiensi, keadilan, dan perlindungan lingkungan sebagai fondasi pengelolaan ruang. Namun dalam praktiknya, tata ruang justru sering menjadi instrumen yang disesuaikan untuk mengakomodasi investasi, bukan melindungi ekosistem. Dokumen AMDAL yang seharusnya menjadi benteng ilmiah sering kali diperlakukan sebagai formalitas administratif. Banyak proyek skala besar lolos tanpa kajian komprehensif atau tanpa uji daya dukung ekologis. WALHI dalam Environmental Outlook 2025 menyebut kondisi ini sebagai “bencana ekologis struktural” suatu kerusakan yang bukan kebetulan, melainkan diproduksi oleh pola kebijakan yang keliru. Oleh karena itu, pembangunan suatu wilayah yang memanfaatkan ruang dengan target serta sasaran pertumbuhan ekonomi perlu menitikberatkan kembali pada keadilan ekologi. Zoning regulation dan pengawasan atas pengelolaan SDA kita perlu diperkuat baik di level kebijakan nasional maupun daerah.
Bencana beruntun di Sumatera memberi pesan jelas: model pembangunan yang menukar keberlanjutan dengan laju investasi cepat adalah model yang cacat. Negara harus memastikan bahwa pertumbuhan tidak mengorbankan keberlanjutan jangka panjang.
Setiap pemanfaatan ruang wajib sesuai rencana tata ruang, untuk itu diperlukan pendekatan yang komprehensif dalam pemanfaatan ruang. Adapaun aspek penting yang perlu diperhatikan, aspek keruangan (Spatial Aspects) menjadi penting karena ruang bukan sekadar lokasi, tetapi sistem yang memiliki struktur, pola, dan fungsi. Kedua, aspek lingkungan dan ekologi (ecoregion dan landscape ecology), dengan memperhatikan kemampuan daya dukung dan ekosistem, resiko bencana, perlindungan hutan dan pengendalian konversi lahan yang berlebihan. Ketiga, aspek kelembagaan dan tata lelola (Governance) melalui penegakan regulasi tata ruang. Keempat, aspek pengendalian pemanfaatan ruang rencana, karena tata ruang tidak berarti apa-apa tanpa kontrol pemanfaatan ruang. Kelima, evaluasi dan monitoring wilayah dengan mengevaluasi RTRW, RPJMD, dan rencana pembangunan, pemantauan perubahan penggunaan lahan (land use change). Terakhir analisis konflik pemanfaatan ruang serta indikator pembangunan wilayah dan ketahanan lingkungan.
Untuk memastikan pendekatan ini berajalan, maka harus menuntaskan terlebih dahulu kasat kusut dibagian hulunya, dengan cara: Pertama, melakukan audit ekologis nasional dengan mengevaluasi seluruh perizinan kehutanan, perkebunan, dan pertambangan terutama di wilayah rawan bencana. Kedua, pembatasan (moratorium) Konversi Hutan Primer dan Hutan Lindung Terutama di wilayah yang tekanan industrinya terus meningkat. Ketiga, perlu pengegakan reformasi AMDAL dan Penegakan Hukum. AMDAL harus menjadi instrumen ilmiah, bukan bahan tawar-menawar politik-investasi. Keempat, Transparansi Tata Ruang Publik harus diberi akses penuh terhadap peta izin, peta rawan bencana, dan rencana tata ruang daerah. Tanpa Langkah tersebut, beribu solusi akan sia-sia, karena tidak dimulai dengan kejujuran. Dan pada akhirnya, pemilik kewenangan-pengusaha hitam hanya akan mengulang siklus yang sama, yaitu pratktik pembukaan lahan dan menambang dengan mengorbankan lingkungan dan itu artinya bencana ekologis akan terus terjadi.























