Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Jakarta – Maret tahun 2018 yang lalu, media di tanah air diramaikan oleh sebuah pemberitaan soal bubarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Asal muasal berita itu berawal dari pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam sebuah pidato politiknya. Dalam pidatonya, Prabowo mengaku mendapatkan kajian tentang nasib Indonesia di tahun 2030 yang diprediksi bakal tiada.
“Itu ada tulisan dari luar negeri. Banyak pembicaraan seperti itu di luar negeri. Begini ya, jadi di luar negeri ada namanya skenario writing. Memang bentuknya mungkin novel, tapi yang nulis adalah ahli-ahli intelijen strategis, you buka dong. You buka, baca, belum kan,” katanya saat pidato di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, (22/3) seperti di kutip media.
Tentu saja pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra itu mendapatkan tanggapan pro dan kontra. Ada yang mengamini tapi banyak pula yang membantahnya. Yang setuju dan menolak ramai ramai berpacu menghidangkan argumentasinya.
Padahal tanpa harus menunggu tahun 2030 tiba, saat ini saja hakekatnya NKRI sebenarnya telah tiada. Saat ini ada negara bernama Indonesia, tetapi negara itu berdiri tidak lagi berlandaskan pada kesepakatan para pendiri bangsa. Karena kesepakatan yang telah dituangkan dalam konstitusinya dalam hal ini Undang Undang Dasar 1945 telah di obrak abrik sedemikian rupa sehingga kehilangan prinsip prinsip dasarnya.
Apa sesungguhnya kesepakatan para pendiri bangsa yang melandasi berdirinya negara kesatuan republik Indonesia?. Perubahan perubahan seperti apa yang membuat kesepakatan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 itu bergeser arahnya sehingga kehilangan prinsip prinsip dasarnya?. Apakah perubahan mendasar tersebut mengandung makna bubarnya negara kesatuan republik Indonesia?
Kesepakatan Pendiri Bangsa
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah negara di Asia Tenggara yang berada di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia serta dilintasi garis khatulistiwa. NKRI merupakan negara berkepulauan terbesar di dunia dan menjadi negara berpenduduk terbesar keempat di dunia bahkan Indonesia tercatat sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Sebelum berdirinya NKRI, para pendiri bangsa (founding fathers) telah berjuang membangun konsensus bersama untuk memberikan “Bangunan dan jiwa” dari negara yang akan baru lahir di bumi Nusantara.
Berdirinya NKRI diawali dengan peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh para pendiri bangsa. Para pendiri bangsa yang terdiri dari para tokoh bangsa, para pemuda dan tokoh perwakilan daerah dari seluruh Nusantara mulai Sumatra hingga Papua telah sepakat untuk membentuk sebuah negara bernama Indonesia.
Kesepakatan yang terjadi menjelang kemerdekaan Indonesia itu kemudian dituangkan di dalam Undang Undang Dasar Indonesia 1945 yang mengikat serta wajib dipatuhi oleh semua pihak yang sepakat berdirinya NKRI.
Butir butir kesepakatan tersebut tak ubahnya seperti janji luhur diantara para pendiri bangsa untuk tetap setia bersama dalam bingkai NKRI selama kesepakatan itu tetap dijaga dan dihormati bersama eksistensinya. Adapun butir butir kesepakatan itu diantaranya:
Pertama, Menyepakati Pancasila sebagai dasar negara, sebagai pemersatu bangsa yang berbhinneka tunggal ika. Pancasila juga merupakan falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Indonesia yang memiliki berbagai agama, suku, ras dan budaya telah dipersatukan oleh Pancasila. Pancasila lahir sebagai kesepakatan final seluruh elemen bangsa.
Kedua, Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 (sebelum perubahan), menyebutkan: “Kedaulatan ada ditangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”. Negara yang memiliki kedaulatan rakyat berarti rakyat menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara. Kedaulatan Rakyat itu diwujudkan berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistim negara yang terbentuk dalam UUD harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan dimana aliran ini memang sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
Ketiga, Berdasarkan ketentuan, MPR wajib terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Artinya, utusan daerah dan utusan golongan pada prinsipnya wajib ada di dalam struktur MPR sebagai perwakilan daerah dan golongan rakyat Indonesia. Pentingnya keberadaan utusan daerah dan golongan sebagai perwakilan rakyat dari daerah yang duduk di MPR, agar daerah mempunyai suara yang cukup penting dalam menentukan presiden dan wakil presiden Negara Indonesia.
Keempat, Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pokok pikiran ini menjelaskan jika cita-cita dan tujuan dari pembukaan UUD 1945 merepresentasikan ide-ide mengenai keadilan sosial. Di mana keadilan sosial lahir dari kesadaran bahwa manusia memiliki hak-hak dan kewajiban dalam masyarakat. Pokok pembukaan UUD 1945 ini tercermin di dalam sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Kelima, Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan bangsa. Pokok pikiran ini menjelaskan jika dalam pembukaan UUD 1945 menegaskan untuk negara persatuan melindungi segenap bangsa dan wilayahnya.
Di mana negara yang berdaulat mengatasi berbagai pemahaman antar golongan dan antar individu yang berbeda-beda.
Perubahan Prinsip
Salah satu agenda reformasi adalah amandemen terhadap Undang Undang Dasar 1945. Dalam sejarah perundang undangan Indonesia, telah dilakukan 4 kali amandemen UUD 1945. Tujuan Amandemen UUD 1945 yang paling utama tentunya adalah untuk memperjelas hukum hukum yang terkandung di dalamnya. Amandemen juga bertujuan untuk membentuk hukum yang belum dijelaskan sebagai penyempurna UUD 1945.
Dalam rangka pelaksanaan amandemen tersebut, Panitia Ad Hoc I MPR telah menyusun kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan konstitusi UUD 1945. Tujuan dibuatnya kesepakatan dasar adalah agar perubahan UUD 1945 mempunyai arah, tujuan, dan batas yang jelas agar tidak merembet kemana mana.
Adapun kesepakatan itu diantaranya: tidak mengubah pembukaan UUD 1945, bentuk negara NKRI harus tetap dipertahankan,mempertegas sistem Pemerintahan Presidensial, meniadakan Penjelasan UUD 1945 dan melakukan perubahan dengan cara adendum yang artinya perubahan UUD 1945 dilakukan dengan tetap mempertahankan naskah asli UUD 1945.
Meskipun sudah ditetapkan rambu rambunya, tetapi praktek pelaksanaan amandemen yang sudah dilakukan empat kali ternyata mengandung penyimpangan penyimpangan yang membuat Undang Undang Dasar 1945 kehilangan prinsip prinsip dasarnya. Nyatanya UUD 1945 telah di obrak abrik sedemikian rupa sesuai seleranya. Lalu mana buktinya?
Pertama, Menghilangkan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi Negara. Upaya penghilangan itu dilakukan secara terselubung dengan cara menggergaji substansinya. Dalam hal ini UUD hasil amandemen 1999-2002, memang masih mencantumkan dasar filsafat negara Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 pada Alinea ke empat. Namun penjabaran dalam pasal pasal UUD hasil amandemen tidak mencerminkan ideologi Pancasila.
Penjabarannya justru mengakomodasi ideologi lain dalam hal ini ideologi: Liberalisme Individualisme dan kapitalisme. Karena logika dari pasal-pasal yang ada sudah tidak konsisten dan tidak koheren dengan basis filosofi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Kedua, Menghilangkan Prinsip Kedaultan Rakyat. Seperti diketahui, UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang asli menyatakan bahwa : “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, yang dilanjutkan dengan Pasal 3 yang berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis Garis Besar Daripada Haluan Negara”.
Tetapi dengan adanya amandemen UUD 1945, ketentuan ini berubah sehingga menjadi: Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.”
Dengan adanya perubahan ini mengandung makna bahwa kedaulatan rakyat diserahkan kepada Presiden, Wakil Presiden dan anggota DPR dan DPD yang dipilih langsung untuk menjalankan pemerintahan kekuasaan negara.
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) ini apabila dikaitkan dengan Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar”, diartikan sebagai pergantian sistem pemerintah sendiri (zelfbestuur) menurut UUD 1945 menjadi sistem presidensiil menurut UUD hasil Amandemen sehingga posisi MPR yang awalnya sebagai perwujudan atau penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia dan yang memegang serta melaksanakan kekuasaan tertinggi pemerintahan negara, menjadi kehilangan tajinya.
Presiden bukan lagi menjadi Mandataris MPR, sehingga tidak ada mekanisme pertanggungjawaban setiap lima (5) tahun di depan MPR dan tidak ada Sidang Istimewa jika Presiden melanggar hukum atau tidak melaksanakan politik GBHN. Karena kebijakan Presiden memang bukan berdasar politik rakyat atau GBHN, tetapi cenderung menjalankan politiknya sendiri yang berbasis kepentingan kaum oligarki yang membiayainya.
Itu semua terjadi karena Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung melalui sistem one-man-one-vote, ditambah calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik, dengan embel embel Presidential Threshold (PT) 20 persen, maka praktis rakyat menjadi tidak berdaya dalam menentukan siapa pemimpinnya.
Hal ini berakibat fatal karena pemimpin yang terpilih pada akhirnya akan lebih banyak mengabdi kepada para pemilik modal kaum oligark dengan mengabaikan kepentingan rakyat yang telah memberikan suaranya. Rakyat tidak lagi mempunyai kedaulatan untuk menentukan siapa pemimpinnya karena dibatasi oleh hegemoni partai politik yang telah menyepakati PT. 20 persen
Selain itu, sistem one-man-one-vote membuat daerah mayoritas berkuasa atas daerah minoritas, bertentangan dengan prinsip musyawarah dan mufakat yang disepakati di dalam UUD, menjelang kemerdekaan Negara Indonesia, ketika daerah menyerahkan kedaulatannya kepada Negara Republik Indonesia.
Memang setelah amandemen UUD 1945 ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai upaya untuk mengganti utusan daerah dan utusan golongan. Pada hal keberadaan DPD hakekatnya tidak sama dengan utusan daerah dan utusan golongan. Karena DPD tidak mempunyai peran yang jeals sebagai perwakilan daerah juga tidak mempunyai suara dalam mencalonkan dan memilih presiden dan wakil presiden Indonesia.
Anggota DPD yang dipilih oleh rakyat pada hakekatnya lebih banyak persamaan dengan anggota DPR yang juga dipilih rakyat sehingga tidak bisa mewakili golongan golongan yang strategis seperti buruh, nelayan, petani dan lain lainnya. Selain itu, banyak anggota DPD yang berasal dari partai politik sehingga tidak mencerminkan daerah maupun golongan yang seharusnya diwakilinya.
Ketiga, Menghilangkan Sila ke-Empat Pancasila. Sila ke-4 Pancasila berbunyi; ‘Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Pemusyawaratan/Perwakilan’ yang mengandung tujuh butir penjelasan di antaranya: Di dalam musyawarah, mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
Hal itu bermakna, suara atau pendapat dan pikiran itu harus didengar dan ditimbang bobotnya, untuk kemudian disepakati dengan moral ketuhanan, sesuai dengan watak bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 yang baru, prinsip prinsip sila ke empat Pancasila ini menjadi sirna.
Ke empat, Meninggalkan Prinsip Kesejahteraan Sosial. Didalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang asli dinyatakan bahwa Indonesia menganut demokrasi Pancasila dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan seterusnya.
Penjelasan atas Pasal 33 di dalam naskah Penjelasan UUD 1945 yang asli sangat terang benderang berorientasi kepada Kesejahteraan Rakyat dan bukan sekadar mengatur Perekonomian Nasional semata. Tetapi dengan adanya amandemen UUD 1945 menghilangkan itu semua. Karena UUD hasil Amandemen 1999-2002 hanya terdiri dari Pembukaan dan Pasal-Pasal, sehingga tidak ada lagi Penjelasan Pasal 33.
Akibat dari ini semua adalah berkembangnya oligarki ekonomi dimana perekonomian negara diserahkan pada mekanisme pasar yang memberikan peluang besar bagi berkembangnya swasta nasional dan mancanegara untuk menguasai perekonomian negara mengabaikan kesejahteraan sosial rakyat Indonesia. Termasuk cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh mereka.
Ke Lima, Menghilangkan kata ‘Asli’ dalam Pasal 6 UUD hasil Amandemen UUD 1945. Didalam UUD 1945 yang asli Pasal 6 (1) dinyatakan bahwa Presiden ialah orang Indonesia asli. Orang Indonesia asli itulah sesungguhnya pemilik Nusantara. Orang Indonesia asli itulah yang sejatinya paling berhak memimpin dan mengelola Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional negara Indonesia yang didirikannya.
Guna mencegah agar pemilik Indonesia yang sebenarnya jangan sampai tersingkir, maka Presiden dan Wakil Presiden haruslah orang asli Indonesia. Jangan sampai kejadian seperti negara Singapura dimana penduduk aslinya tersingkir dan hanya menjadi warga kelas dua.
Tetapi dengan adanya amandemen UUD 1945, ketentuan Pasal 6 (1) berubah sehingga bunyinya menjadi: Pasal 6 (1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dengan adanya perubahan ini terbuka peluang orang bukan Indonesia asli menjadi pemimpin
di Indonesia.
Hakekatnya Telah Bubar?
Dengan adanya perubahan perubahan prinsip dalam Undang Undang Dasar 1945 tersebut telah menghambat upaya untuk mencapai tujuan negara sebagaimana tertuang di Alinea ke empat pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Pada hal sejak awal negara ini merdeka, para pendiri bangsa sudah bercita cita luhur yaitu ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang mensejahterakan rakyatnya.
Kondisi tersebut pada akhirnya berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara baik secara politik, ekonomi, sosial, keamanan dan sosial budaya. Sebagai contoh dalam bidang ekonomi, dengan adanya penghilangan Penjelasan pasal 33 UUD 1945 tersebut perekonomian Indonesia menjadi sangat liberal sehingga tidak sesuai dengan nilai nilai Pancasila.
Pemerintah yang terpilih melalui Pemilu langsung telah membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya melalui mekanisme pasar sehingga perlindungan terhadap kepentingan rakyat agar hidup mereka menjadi sejahtera bukan menjadi tujuan utama. Hal ini terbukti dengan adanya beragam Undang Undang yang memberi kesempatan dan peluang kepada Swasta Nasional maupun Asing (atau yang berkolaborasi melalui pasar modal dan share holder) untuk menguasai Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia.
Termasuk juga penguasaan terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tak sepenuhnya dikuasai negara. Sehingga segelintir orang (berdasarkan data yang sudah banyak beredar di media massa) dapat menguasai dan menguras kekayaan alam Indonesia. Sementara ratusan juta rakyat hanya bisa mengelus dada. Ketidakadilan inilah yang menjadi salah satu faktor penyumbang kemiskinan struktural yang saat ini berkembang di Indonesia.
Ketidakadilan tersebut telah membuat Oligarki semakin membesar dan menguat dalam dua dasawarsa terakhir ini sehingga menguasai perekonomian Indonesia. Kemiskinan struktural tidak kunjung dapat diatasi oleh negara karena negara tidak jelasnya keberpihakannya dalam membela kepentingan rakyatnya.
Ketidakadilan itu terjadi karena Oligarki Ekonomi telah menyandera kekuasaan dengan kekuatan modal dan uang yang didapat dari pengerukan sumberdaya alam (SDA). Karena fakta yang telah diteliti oleh banyak pemerhati dan akademisi, bahwa Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai lahirnya pemimpin nasional, telah menyandera kekuasaan untuk berpihak kepada kepentingan mereka.
Adanya perubahan mendasar konstitusi negara tersebut bisa berimbas bukan hanya terjadi saat ini saja melainkan berefek jangka panjang menerpa anak cucu kita. Efek jangka panjang dari amandemen UUD 1945 itu menurut La Nyalla Mattaliti memang sengaja dirancang oleh para pengkhianat bangsa untuk menimbulkan kesulitan bagi bangsa Indonesia.
Dengan adanya perubahan mendasar konstitusi tersebut menjadi tidak ada lagi Sidang Istimewa jika Presiden melanggar hukum atau melanggar garis garis besar Haluan negara karena GHBN memang sudah tidak ada. Presiden bekerja bukan berdasar politik rakyat yang dituangkan dalam GBHN, melainkan cenderung menjalankan politiknya sendiri yang berbasis kepada kepentingan kaum oligarki yang telah membiayainya.
Alhasil mengacu pada kondisi faktual sebagaimana dikemukakan diatas, maka secara substansial hakekatnya NKRI yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu sudah tiada. Karena NKRI yang di didirikan dengan tujuan untuk mencapai tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 bakal sulit bahkan mustahil untuk mencapai tujuannya.
Sehingga NKRI secara fisik memang ada karena ada wilayah, punya penduduk dan punya pemerintahan yang berkuasa tapi secara hakekat tidak akan mampu mencapai tujuan yang ingin dicapai sebagai sebuah negara yang merdeka, adil makmur, sejahtera untuk seluruh warga negaranya. Karena konstitusi yang menjadi landasan berpijak dalam menyelenggarakan pemerintahan negaranya sudah menyimpang dari kesepakatan pendiri bangsa. Apakah memang begitu kenyataannya?