Siaranindonesia.com, Jakarta – Kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rafael Alun Trisambodo, memasuki babak baru. Meskipun Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta telah menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara dan denda miliaran rupiah kepada Rafael, hingga kini tak satu pun pihak pemberi gratifikasi yang dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal, sejumlah nama dari kalangan pengusaha dan pihak swasta sudah diperiksa sejak awal pengusutan perkara. Situasi ini menimbulkan pertanyaan publik: mengapa hanya penerima yang dijerat, sementara pemberi tetap aman?
Pada 28 Juli 2023, KPK memeriksa dua saksi penting dari pihak swasta yakni Among Sandi Laksana, seorang wiraswasta, Untung Wijaya, Direktur CV. Rajawali Diesel.
Keduanya didalami untuk menelusuri sumber aliran dana yang digunakan Rafael dalam membeli berbagai aset mewah. Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri, menyampaikan bahwa pemeriksaan ini fokus mengurai dugaan penerimaan gratifikasi yang mengalir melalui sejumlah perusahaan dan individu.
KPK sebelumnya juga menyita berbagai aset Rafael yang dianggap terkait gratifikasi dan TPPU, diantaranya dua mobil Toyota Camry dan Land Cruiser, rumah mewah di jakarta selatan, rumah kos di kawasan blok M dan kontrakan di eruya akarta barat.
Aset-aset ini dinilai tidak sesuai dengan profil penghasilan Rafael ketika bertugas, termasuk saat menjabat Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak DJP Jawa Tengah I (2012–2015).
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur, memastikan bahwa penyidikan kasus Rafael tidak akan berhenti. “Selama perkara ini tidak dihentikan penyidikan, kami berkomitmen menyelesaikannya,” kata Asep Guntur, 25 Juni 2024 lalu.
Ia menegaskan bahwa setelah putusan inkrah, KPK akan melakukan analisis mendalam untuk menentukan apakah ada pihak lain yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum, baik untuk korupsi maupun TPPU.
Namun, hingga saat ini KPK menyatakan bahwa pasal yang dikenakan kepada Rafael adalah Pasal 12B tentang Gratifikasi dan Pasal 3 UU TPPU, yang menjerat penerima, bukan pemberi.
Banyak yang mengira pemberi gratifikasi otomatis dapat dipidana. Faktanya tidak demikian. Pasal 12B UU 20/2001 hanya menjerat penerima gratifikasi
Menurut Pasal 12B, gratifikasi berupa uang, barang, komisi, fasilitas, tiket perjalanan, hingga layanan wisata dapat menjadi tindak pidana bila tidak dilaporkan dalam 30 hari sejak diterima. Namun, pasal tersebut tidak mengatur pidana terhadap pemberi gratifikasi.
Asep Guntur menegaskan, “dalam Pasal 12B, yang dikenakan pidana adalah si penerima. Bagi pemberi, tidak ada pidana.”
Itulah sebabnya, meskipun jumlah gratifikasi yang diterima Rafael mencapai puluhan miliar rupiah, pihak-pihak yang memberikan fasilitas tersebut tidak langsung menjadi tersangka.
Gratifikasi bisa menjadi pidana hanya jika tidak dilaporkan. Namun untuk menjerat pemberi, harus ada unsur suap, yakni pemberian dengan tujuan mempengaruhi kebijakan atau tindakan pejabat.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Dr. Akhiar Salmi, mengatakan “lemberi gratifikasi tidak dapat dipidana kecuali perbuatannya masuk kategori suap.
Jika masuk kategori suap, maka pemberi bisa dikenakan Pasal 5 atau Pasal 13 UU Tipikor dengan ancaman pidana hingga 5 tahun penjara.
KPK menyatakan bahwa jika berhasil membuktikan bahwa sejumlah pemberian kepada Rafael merupakan suap, maka pemberinya pun dapat dipidana.
Pada 8 Juli 2024, PT DKI Jakarta menguatkan vonis PN Tipikor Jakarta Pusat terhadap Rafael. Ia dinyatakan secara sah menerima gratifikasi dan melakukan TPPU.
Pidana badan: 14 tahun penjara, denda: Rp500 juta, subsider 3 bulan kurungan, uang pengganti: Rp10,079 miliar, subsider 3 tahun penjara.
Majelis hakim juga melakukan perbaikan terhadap status beberapa barang bukti.
Sebagian aset dirampas untuk negara, namun barang bukti nomor 552/412 dikembalikan kepada pemilik dari mana benda tersebut disita.
Dari dakwaan terungkap bahwa Rafael bersama istrinya, Ernie Meike Torondek, menerima gratifikasi sejak 2002 hingga 2012 senilai Rp16,6 miliar. Dana-dana tersebut diduga mengalir melalui beberapa perusahaan, antara lain:
PT ARME, PT. Cubes Consulting, PT Cahaya Kalbar, PT Krisna Bali International Cargo
Selain itu, mereka juga melakukan TPPU selama periode panjang, yaitu 2003–2010: Rp5,1 miliar. Penerimaan lain: Rp31,7 miliar. 2011–2023: Rp1,5 miliar. Valas: 2.098.365 dolar Singapura dan 937.900 dolar AS. ambahan lain: Rp14,5 miliar. Harta-harta tersebut disamarkan dalam bentuk aset, rekening, hingga bisnis keluarga.
Publik mempertanyakan mengapa hanya Rafael yang dijerat, sementara sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam pemberian gratifikasi belum tersentuh hukum.
Isu ini menjadi sorotan karena:
1. Nilai gratifikasi sangat fantastis dan berlangsung bertahun-tahun.
2. Ada dugaan keterlibatan banyak pengusaha, termasuk pihak swasta yang mengaku mendapat kemudahan urusan pajak.
3. Penegakan hukum dianggap timpang bila hanya penerima yang diproses.
KPK berjanji akan mendalami kembali perkara ini pasca putusan inkrah. Jika ditemukan unsur suap, bukan sekadar gratifikasi, maka pihak pemberi akan diproses sesuai Pasal 5 atau Pasal 13 UU Tipikor.
Kasus gratifikasi Rafael Alun memang telah memasuki tahap putusan akhir di pengadilan. Namun proses hukum belum selesai.
KPK menegaskan masih membuka peluang menjerat pihak lain, termasuk para pemberi dana, jika unsur suap terbukti. Analisis lanjutan akan dilakukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah). Publik kini menunggu langkah KPK selanjutnya:
Apakah pemberi gratifikasi akan ikut diproses, atau perkara akan berhenti hanya pada penerima?’























