Maju Mundur Tuntutan Reformasi 98: 5.000 Triliun Mengalir ke Luar Negeri Tiap Tahun

- Editor

Rabu, 26 November 2025 - 19:50 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Siaranindonesia.com,  Jakarta – Gerakan Reformasi 98 dimulai dengan jatuhnya Soeharto yang mengakhiri 32 tahun kekuasaan terlama dalam pemerintahan Indonesia. Berada dalam masa transisi, reformasi 98 ditandai dengan amendemen Undang-undang Dasar 1945, dan revisi berbagai Undang-undang yang memperluas kebebasan berpendapat.

Secara garis besar, butir-butir tuntutan reformasi tersebut antara lain amandemen UUD 45, pemberantasan KKN, pencabutan Dwi Fungsi ABRI, penegakan hukum, penegakan hak asasi manusia dan demokrasi, penegakan kebebasan pers, dan pemberian hak otonomi kepada daerah-daerah.

Keputusan tersebut membentuk lingkungan sosial-politik yang lebih terbuka dan cita-cita perbaikan ekonomi makro maupun mikro untuk kesejahteraan rakyat. Namun tepat 27 tahun setelah genderang perubahan reformasi 98 ditabuh, justru muncul berbagai masalah penurunan nilai-nilai demokrasi, disrupsi digital, krisis hukum, korupsi kronis, krisis lingkungan, krisis mental, disintegrasi bangsa, serta merosotnya daya beli dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Persoalan lainnya adalah generasi muda saat ini atau Gen Z yang belum memahami reformasi 98, yang memengaruhi kehidupan mereka saat ini.

Atas dasar itu, Rumah Pulang Indonesia (RPI) menggelar dialog nasional refleksi dan evaluasi reformasi 98 dengan tema, “Maju Mundur Tuntutan Reformasi 98”, RPI mempersembahkan sebuah ruang retrospeksi (mengingat dan merenungkan hal-hal yang terjadi di masa lalu) untuk menguji sejauh mana idealisme Gerakan 98 masih bernafas di tubuh Republik ini.

Ketua Umum Rumah Pulang Indonesia, Hanif Thufail mengatakan bahwa reformasi 98 bukan hanya menjadi sejarah, namun adalah amanat, cita cita dan janji yang harus dijaga. Timbul pertanyaan, apakah cita cita itu sudah terwujud?

“Makanya hari ini dibukalah forum refleksi dan evaluasi ini,” kata Hanif saat sambutan pembukaan acara yang digelar di Diradja Hotel, Jakarta Selatan, Rabu (26/11/2025).

​Refleksi ini bukan sekadar kilas balik sejarah, melainkan sebuah instrumen evaluasi kritis terhadap pencapaian Reformasi yakni penuntasan KKN, penegakan hukum yang adil, dan kedaulatan rakyat sejati. Forum ini mencari jawaban mengapa semangat perubahan terasa seperti dua langkah maju dan satu langkah mundur, terjebak antara harapan dan kekecewaan.

​”Apakah kita akan membiarkan tuntutan suci ini hanya menjadi dongeng sejarah? Ini saatnya kita mengukur suhu nurani bangsa.” tandas Hanif.

Ia menjelaskan, tujuan forum ini bukan mencari kesalahan antar generasi, melainkan belajar dari kesalahan masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik. “Jika reformasi eranya sudah selesai, biarlah dia selesai. Bagaimana kita membicarakan masa depan dan sejarah baru yang akan kita buat. Jangan sampai sejarah baru yang kita buat terjadi kesalahan seperti yang sudah-sudah,” ujarnya.

“Masa depan yang akan datang itu akan dipegang oleh kami, pemilik masa depan,” tutup Hanif, mewakili suara Generasi Z yang kini mengambil tongkat estafet perjuangan.

Teatrikal Bocah Kampung

Acara dibuka dengan pertunjukan teatrikal “maju mundur tuntutan reformasi 98, dibawakan oleh teater Bocah Kampung yang menggambarkan lahirnya reformasi 98 hingga keadaan saat ini dengan multi masalah yang harus dihadapi Gen Z.

Acara yang mempertemukan aktivis angkatan 78, 80, dan 98 dengan Generasi Z (Gen Z) ini menyingkap kekecewaan mendalam atas gagalnya agenda reformasi mewujudkan cita-cita 1998.

Dwi Fungsi ABRI jadi Dwi Fungsi Polri?

Sunjati, aktivis 78 yang sudah berjuang sejak usia 14 tahun, mengungkapkan kekecewaannya terhadap hasil pemisahan Polri dari TNI yang pernah diperjuangkannya. Menurut aktivis 78 yang mengawali aksi demonstrasi sejak 1974 ini, mengatakan pencabutan Dwi Fungsi ABRI yang terjadi pada reformasi 98 ternyata memuncukan dwi fungsi pada instansi lainnya seperti Polri.

“Ketika polisi sudah berpisah dari tentara, itu lebih tidak terpikir lagi, sudah luar biasa. Kami kecewa karena kami ikut ada di dalam gerakan untuk memisahkan itu,” katanya.

“Sekarang jenderal-jenderal polisi jadi banking-banking tambang, jadi komisaris, dan aktif tidak pensiun. Ini membuat kami kecewa. Ternyata ini lebih sadis,” kats dia.

Perempuan yang pernah aktif bersama Ibu-Ibu Suara Peduli pada 1998 ini juga menekankan pentingnya Gen Z memiliki standar hidup layak sambil tetap berjuang. “Saya tidak mau aktivis itu miskin. Aktivis tetap harus punya standar hidup. Minimal punya rumah, punya mobil, walaupun bukan Lamborghini.” tandasnya.

Gerakan 20 Kota jadi 173 Kota

Agung Giantoro, aktivis 98, memaparkan data mengejutkan tentang eskalasi demonstrasi di Indonesia. “Tahun 98 terjadi 20 demonstrasi plus kerusuhan di 20 kota besar. Sekarang, kerusuhan Agustus 2025 terjadi di 173 kota menurut Lab 45 dan Media Monitoring Drone Emprit,” ungkapnya.

Data resmi Kementerian Dalam Negeri yang hanya mencatat 107 kota, menurut Agung, adalah “bohong”. Ia mencatat perkembangan mengkhawatirkan: reformasi dikorupsi 2019 di 22 kota, Gejayan Memanggil 2020 di 25 kota, tolak Presiden 3 Periode 2022 di 40 kota, hingga puncaknya kerusuhan Agustus 2025 di 173 kota.

“Bara api di bawah karpet sudah menjadi lautan. Sekali pantik, akan jadi letupan luar biasa. Dan bukan lagi reformasi yang akan terjadi,” tegasnya, menyinggung teriakan “revolusi” yang terus bergema dalam setiap aksi.

Bencana Demografi, Bukan Bonus

Sementara Jumhur Hidayat, Ketua Umum KSPSI sekaligus aktivis 80, menyoroti bonus demografi yang menjadi bagian dari Reformasi 98. Jumhur membantah narasi bonus demografi yang selama ini dikampanyekan pemerintah, sebab faktanya, pengangguran makin banyak tiap tahunnya. Ini adalah bencana demografi.

“Faktanya sekarang kita sedang mengalami bencana demografi. Gen Z ada 10 juta dalam keadaan NEET – Not in Employment, Education and Training. Yang artinya nganggur,” jelas Jumhur.

Ia memperingatkan bahwa kondisi ini menciptakan potensi kemarahan tinggi sebab melemahnya ekonomi, memicu kehancuran generasi.

“Sebab, perut tidak bisa menunggu.” tegas jumhur. Ia pun meminta Gen Z dapat mengawal ide-ide kerakyatan yang bisa menyelamatkan Gen Z dari kehancuran.

“Kalau salah diiluminasi dari pemerintahan ke pemerintahan, yang ada generasi emas jadi generasi hancur-hancuran.” tandasnya.

Jumhur bahkan memberikan skenario fiksi mengerikan tentang ancaman kedaulatan 20 tahun ke depan akibat kecerobohan pemimpin saat ini, menggambarkan Indonesia yang bisa dikontrol negara asing melalui ancaman nuklir yang diselundupkan lewat bandara yang tidak terintegrasi dengan sistem keamanan negara dan menjadi ancaman kedaulatan.

Mana Sertifikat Negara Ini?

Jim Lomen Sihombing, aktivis 80, mengangkat isu fundamental tentang identitas bangsa. Ia mengkritik tidak adanya kesepakatan nasional tentang “akte kelahiran” Indonesia. “1928 itu adalah deklarasi Indonesia lahir. Kalau 1928 itu sertifikatnya tidak kita sepakati, maka persoalan kemerdekaan tidak akan selesai,” tegas Jim.

Ia mengupas sebab yang mencemaskan adalah Indonesia tidak punya akte kelahiran bangsa dan negara.

“Itu yang paling berbahaya. Dari pada Xi Jinping, dari pada Trump, itu yang paling berbahaya,” tambah Jim yang juga mengkritik perayaan nasional yang hanya fokus pada 1945, bukan 1928.

Ia menyerukan Gen Z untuk menagih sertifikat negara kepada MPR. “Kami bisa menjawab Indonesia Emas 2045 kalau kita punya sertifikat kapan kita lahir. Dari situ kita negosiasi ulang, mau kita apakan Indonesia ini.” tandasnya.

5.000 Triliun Mengalir ke Luar Negeri Setiap Tahun?

Kisman Latumakulita , aktivis 80 dan wartawan senior, mengungkapkan data mengejutkan: “Prabowo pernah menyampaikan data, setiap tahun selama 10 tahun terakhir, ada kekayaan alam kita yang ke luar negeri 5.000 triliun. Ini kapitalisasi. Ini reformasi. Apakah ini yang dibuat reformasi? Saya bilang tidak.”

Ia menekankan perlunya Gen Z belajar kembali tentang budaya, jati diri bangsa, dan ideologi. “Filosofi berbangsa kita itu mendahulukan kepentingan orang lain dan kepentingan bersama.”

Kesimpulan

Forum refleksi ini menunjukkan bahwa 27 tahun pasca-reformasi, tuntutan enam agenda reformasi 1998 masih jauh dari terwujud sepenuhnya, bahkan beberapa aspek mengalami kemunduran. Para aktivis lintas generasi sepakat bahwa tanpa perbaikan fundamental, Indonesia bisa menuju ke arah yang lebih berbahaya dari sekadar reformasi, yakni revolusi. (**)

Komentar Facebook

Berita Terkait

Hukum di Balik Transaksi Solar Non Subsidi Pertamina dengan Konsumen Industri
11 Wejangan Kebangsaan
Luka Rasisme yang Tak Disembuhkan
Memahami Karakter Kepemimpinan Prabowo: Arah & Harapan Papua ke Depan
Kita Songsong Transformasi Umrah 1447 H: Inovasi Saudi, Kesempatan Kita
Luka Papua Sudah Membusuk dan Bernanah
Menakar Kepemimpinan Prabowo dalam Isu-isu Papua
Hoaks Sejarah & Nasab PP. Al-Kahfi Somalangu!?

Berita Terkait

Senin, 24 November 2025 - 17:26 WIB

Heboh Unggahan Facebook, Wartawati Kebumen Umi Fitriyati Luruskan Tuduhan Ancaman

Senin, 24 November 2025 - 11:17 WIB

Tiga Pria Cabuli Anak di Bawah Umur di Kebumen, Polisi Tangkap Pelaku

Sabtu, 8 November 2025 - 17:16 WIB

Pegawai Puskesmas Bonorowo Triyo Rachmadi Raih Doktor Hukum dari UII

Kamis, 6 November 2025 - 19:40 WIB

Kepsek SMPN 1 Kebumen Pastikan Tak Ada Perundungan Siswa di Sekolah

Rabu, 5 November 2025 - 20:47 WIB

MBG Polres Kebumen Bikin Murid SMK TAB Lahap dan Ceria Saat Makan Siang

Senin, 3 November 2025 - 18:53 WIB

Dinas Pertanian dan Pangan Kebumen Salurkan 11 Unit Alsintan untuk Kelompok Tani

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 19:46 WIB

Pembangunan Jalan Makadam di Dukuh Slepi, Langkah Nyata Desa Plumbon Majukan Ekonomi Warga

Jumat, 24 Oktober 2025 - 09:46 WIB

Refleksi Hari Santri 2025: Meneguhkan Peran Santri dari Masa ke Masa di Pesantren Leadership Primago

Berita Terbaru