Kebumen, Siaran Indonesia – Politisi senior Partai Golkar Ridwan Hisjam turut bersuara menanggapi kritik Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang menyebut Presiden Jokowi sebagai kepala negara tidak boleh membuat versi-versi sendiri, harus sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dituliskan para pendiri bangsa.
Ridwan sangat menghormati apa yang disampaikan Megawati. Bagaimanapun kata dia, Megawati adalah tokoh bangsa yang setiap pendapatnya harus dihormati. Ia sendiri merasa hormat dengan Megawati karena pernah diusung sebagai calon wakil gubernur Jawa Timur oleh PDIP pada 2008.
“Saya kira begini kalau Ibu Mega memberikan peringatan kepada kita semua saya kira benar. Bagaimanapun beliau adalah guru bangsa, saya sendiri pernah diusung PDIP sebagai calon wakil gubernur Jatim bersama Sucipto, beliau selalu memikirkan kemajuan bangsa kita,” tutur Ridwan, Senin 7 Juli 2024.
Terkait pemimpin yang disebut terlalu banyak versi-versi, Ridwan mengatakan, setiap presiden memiliki model kepemimpinan yang berbeda-beda dan saling berkesinambungan. Hal ini karena UUD 1945 terlalu banyak diamandemen. Sehingga menimbulkan versi-versi.
“Kenapa banyak versi-versi ya karena UUD terlalu banyak diamandemen. Sejak reformasi pasal-pasal dari UU itu banyak yang dirubah. Hanya pembukaanya saja yang tidak rubah, sehingga karena aturan itu dirubah, maka setiap presiden punya kebijakan yang terlihat berbeda dengan sebelumnya,” ujar Ridwan.
Ridwan setuju jika UUD dikembalikan seperti yang dulu sesuai aslinya, yakni dengan adanya GBHN, dan mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tinggi Negara, bukan Presiden, dimana kedaulatan tertinggi rakyat ada di MPR. Ia menyayangkan kedudukan MPR saat ini sama dengan DPR, karena itu wajar jika setiap Presiden punya banyak versi-versi.
“Kalau nggak mau banyak versi-versi ya harus dikembalikan UUD 45 seperti yang dulu, murni sesuai aslinya. Saya sepakat apa yang disampaikan Bu Mega, kita harus kembali kepada UUD 45 yang dulu sesuai pikiran-pikiran para pendiri bangsa kita. UUD kita sekarang kan sekarang sudah sangat liberal, jauh dari budaya bangsa seperti gotongroyong dan sebagainya.”
Ridwan pun terus mendorong UUD 45 diamandemen kembali seperti yang dulu. Namun ada sedikit catatan, yakni mengenai periode masa jabatan presiden. Ridwan setuju presiden menjabat dua periode, namun masa jabatannya ditambah dari lima tahun menjadi tujuh tahun.
“Diharapkan dengan penambahan masa jabatan itu, program kerja yang dicanangkan presiden bisa lebih maksimal. 10 tahun saya kira belum cukup bagi seorang presiden untuk melaksanakan program-program yang telah dicanangkan, jadi harus ada penambahan masa jabatan sepertihalnya kepala desa dari dari enam tahun menjadi delapan tahun,” jelasnya.