XINPU, TAIWAN, SiaranIndonesia.com – Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Lebak, Banten, melakukan safari dakwah ke sejumlah wilayah di Taiwan selama bulan Ramadhan 2025. Salah satunya di Mushala Al-Barokah, Kota Xinpu, Taoyuan, pada Ahad (9/3/2025), di mana ia mengisi kajian menjelang Maghrib serta ceramah Ramadhan.
Kiai Tsabit didampingi Ketua PCINU Ranting Taoyuan, Mas Saifudin, dan Komandan Banser Ranting Taoyuan, Mas Imam Sunyoto. Rombongan berangkat dari kantor PCINU Taiwan di kawasan yang menjadi tempat berkumpulnya para pekerja migran Indonesia. Lokasi ini bersebelahan dengan toko kelontong milik pria Pakistan yang menikahi perempuan Indonesia, yang dikenal di kalangan warga sebagai “Warung Indo”.
Perjalanan menuju Xinpu menempuh waktu sekitar dua jam menggunakan taksi. Setibanya di lokasi, rombongan disambut hangat oleh para jamaah Mushala Al-Barokah, yang rata-rata adalah tenaga kerja asal Indonesia. Mushala ini berada di lantai tiga sebuah bangunan milik pasangan mualaf asal Taiwan, Pak Umar dan istrinya. Untuk mencapai ruang salat, pengunjung harus melewati lorong dapur dan ruang produksi makanan ringan.
Dalam ceramahnya menjelang berbuka, KH. Tsabit mengingatkan bahwa Ramadhan merupakan momentum langka yang tidak selalu bisa dinikmati setiap tahun. Ia menegaskan pentingnya menjaga semangat keislaman dan kebangsaan di tengah kehidupan sebagai perantau.
Usai salat Maghrib dan berbuka bersama, KH. Tsabit terlibat dalam obrolan ringan dengan beberapa jamaah. Salah satu yang menarik perhatian adalah kisah Kang Miftah, seorang pekerja migran asal Cilacap. Dalam perbincangan itu, Kang Miftah menyebut istilah “para pendekar yang bertumbangan di Taiwan”—sebuah ungkapan untuk para santri atau alumni pesantren yang merantau ke Taiwan namun gagal mempertahankan idealisme, keluarga, dan tujuan awal mereka.
Menurut penuturan Kang Miftah, banyak di antara mereka yang berangkat ke Taiwan demi meraih kehidupan lebih baik, seperti membangun rumah atau membuka usaha di kampung halaman. Namun, tidak sedikit yang justru terjebak dalam kesulitan hidup, godaan lingkungan, hingga kehancuran rumah tangga karena jarak dan waktu yang memisahkan. Banyak dari mereka yang akhirnya bercerai, kehilangan arah, dan pulang dengan tangan hampa.
KH. Tsabit menilai bahwa kisah tersebut menggambarkan sisi lain dari realitas pekerja migran yang kerap luput dari sorotan. Di balik angka remitansi dan narasi sukses TKI, tersimpan kenyataan pahit: keluarga yang tercerai-berai, anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran orang tua, serta beban psikologis yang tidak ringan.
“Kisah seperti ini mengingatkan kita bahwa perjuangan para santri perantauan di Taiwan bukan sekadar soal mencari nafkah. Mereka adalah pejuang kehidupan yang juga mempertaruhkan identitas, iman, dan keutuhan keluarga,” ungkapnya.
KH. Tsabit menutup refleksinya dengan pertanyaan mendalam: “Berapa banyak yang berhasil bertahan? Dan berapa banyak yang harus menjadi bagian dari statistik ‘pendekar yang tumbang’?”