Siaranindonesia.com – Belanda adalah negara di Eropa dengan jumlah penduduk Indonesia terbanyak, 1,7 juta diaspora RI dari 17,5 juta penduduk Belanda.
Banyaknya jumlah diaspora itu menjadi peluang pasar yang besar, salah satunya kuliner.
Suprapti Tanjung adalah salah satu diaspora RI yang menangkap peluang itu.
Wanita paruh baya yang sudah tinggal di Belanda selama 21 tahun ini membuka Warung Nasi Padang Lapek di Den Haag, Belanda.
Ia merintis bisnis itu sejak 10 tahun lalu, saat ia merasa kesulitan untuk mendapatkan makanan pedas khas Padang di Negeri Kincir Angin.
Sebelum membuka usahanya, ia merasa rasa makanan Indonesia di Belanda tidak otentik karena sudah disesuaikan dengan lidah warga lokal.
“Saya pencinta makanan pedas, susah mau makan di sini,” ujarnya saat ditemui di Den Haag, Belanda, Sabtu (3/9).
Semula, ia tak serta merta membuka warung makan.
Suprapti hanya berjualan nasi padang saat ada bazaar atau pasar malam insidental Indonesia di Belanda.
Selang beberapa tahun, ia punya ide untuk membuka restoran.
Beruntung ia mendapat bantuan dari kakak angkat sekaligus manajernya.
Lewat usaha itu, ia mengenalkan cita rasa khas Nareh Pasir Baru, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Mulai dari rendang, telur balado, gulai, jengkol, hingga sayur daun singkong.
“Kita sekaligus mengenalkan kepada orang lain, ini loh (makanan) Padang. Rendang itu makanan terenak nomor 50 di dunia (versi CNN Internasional),” ujarnya.
Masakan Suprapti cukup laris. Tak hanya orang Indonesia, banyak orang asing yang ketagihan makan di Warung Makan Lapek.
Tak ayal, pada tahun ini, ia berani menyewa lapak restoran yang lebih besar di seberang warung makannya.
Sementara, warung makan lamanya ia sulap menjadi toko oleh-oleh khas Indonesia.
“Kalau di Sumatera itu, warung makan dan toko oleh-oleh itu depan-depanan,” ujarnya.
Upaya Suprapti pun tak lepas dari dukungan pemerintah dan pembiayaan dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk lewat Program BNI Diaspora Go Global.
“Suatu hari orang BNI menawarkan program (pinjaman) UMKM. Di kepala saya, kalau untuk UMKM itu suku bunga rendah dibandingkan dengan bank Belanda,” jelasnya.
Suprapti enggan buka-bukaan mengenai omzetnya.
Yang pasti, harga masakan Padang di Belanda jauh di atas harga kuliner serupa di Indonesia. “Rendang 1 kilo saya jual US$55 euro (Rp815 ribu) di sini,” ujarnya.
Dalam menjalankan usahanya, salah satu tantangan yang dihadapi Suprapti adalah mendapatkan bahan baku.
Pasalnya, ia harus mengimpor dari Indonesia seperti santan kara, jengkol, dan cumi.
Sementara, jumlah impor bahan pangan dibatasi oleh pemerintah setempat.
“Paling susah jengkol. Belanda ada batasnya, 1 orang hanya boleh membawa misalnya 50 kg dan 100 kg karena bau,” ujarnya.
Selain dari Indonesia, ia juga mendapatkan dari pemasok bahan-bahan kuliner dari Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam.
Makanya, ia pernah mengusulkan kepada kedutaan besar Indonesia di Belanda agar ada toko yang secara khusus menyediakan bumbu dan bahan pangan dari Indonesia.
“Orang Indonesia yang mensuplai, kita yang membeli. Jadi memudahkan kita. Misal jengkol kalau sudah habis pusing kami mencarinya,” ujarnya.
Sumber, Jakarta, CNN Indonesia