Siaranindonesia.com-Burung hijau hidup tinggi di angkasa. Namun ia mencari penghidupan di permukaan laut. Setidaknya itu informasi yang di dapat dari karya Muhammad bin Abi Bakar yang berjudul Al-Mawaidz Al-Ushfuriyah yang secara literal berarti buku “Nasihat Para Burung”.
Burung ini terbilang istimewa. Sebab ia memiliki tulang yang kokoh seperti tombak pendek, baik pada punggungnya maupun di bawah perutnya. Selebihnya ia memiliki paruh yang kuat dan sayap yang kokoh agar bisa melesat secara tiba-tiba ke permukaan laut untuk mendapatkan makanan.
Makanan yang diperoleh adalah sisa daging ikan yang terselip di antara gigi hiu. Sebagai predator, hiu memangsa ikan apa saja untuk membuatnya kenyang dan bertahan. Dalam bahasa Arab ikan hiu disebut al-hut, sedangkan ikan kecil yang dimangsa disebut al-samak.
Yang menarik adalah pola rantai makanan antara al-samak, al-hut, dan burung hijau. Usai hiu memangsa ikan, sisa dagingnya terselip di antara gigi hiu. Kondisi tersebut membuat hiu tidak nyaman, bahkan menyakitkan giginya. Ini akibat cara hiu menyantap makanan dengan buas dan berkuantitas.
Untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut sesekali hiu mengeluarkan kepalanya ke permukaan laut sambil membuka mulutnya. Tentu tingkah hiu ini memberi isyarat kepada makhluk lain bahwa di antara giginya ada makanan. Hanya saja tidak semua binatang bisa memanfaatkan peluang menantang ini. Terkecuali burung hijau.
Di angkasa burung hijau memang sudah sejak lama mengintai. Sekelebat burung hijau terbang merendah lalu masuk mulut hiu untuk memakan sisa ikan yang terselip di antara gigi hiu. Sepanjang hiu membuka mulutnya sepanjang itu pula burung hijau cerdas itu berpesta dengan riang gembira.
Burung hijau bukan tanpa alasan berani menyantap sisa daging ikan yang terselip di gigi hiu. Pasalnya, secara vertikal ia menunjang mulut hiu dengan tombak yang ada di punggungnya dan secara horisontal dengan tombak di dadanya. Rupanya ini fungsi dua tombak yang dimiliki burung hijau.
Burung hijau tidak makan kecuali ketika hiu mengerang kesakitan. Sementara hiu baru merasa nyaman kalau sisa ikan yang terselip di giginya dimakan burung hijau. Burung hijau tidak pernah takut tidak memperoleh rezeki. Sebab pasti akan datang hiu yang mengeluarkan kepalanya dan membuka mulutnya.
Tentu burung hijau tidak dibekali akal dan ilmu, ia hanya mengandalkan instink (al-gharizah) untuk mencari nafkah. Sementara manusia yang dilengkapi dengan segalanya, termasuk teknologi, seringkali gerogi tidak bisa memenuhi makanannya. Inilah fenomena burung hijau. Semoga jadi pelajaran buat kita.*
Oleh: KH. Dr. Syamsul Yakin (Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung Kota Depok)