Oleh: Sri Lestari (Tenaga Pengajar di Kebumen)
Pernikahan Zainab binti Jahsy dengan Zaid bin Haritsah merupakan salah satu episode penting dalam sejarah Islam yang menyentuh isu kesetaraan sosial, adat jahiliyah, serta ketundukan pada perintah Allah. Peristiwa ini bukan hanya berkaitan dengan kehidupan pribadi Rasulullah ﷺ, tetapi juga membawa pesan sosial yang mendalam tentang keturunan, status, dan penghormatan terhadap perintah Allah.
Pernikahan yang Menghapus Kesenjangan Sosial
Zainab binti Jahsy merupakan seorang gadis Quraisy dari Bani Asad yang cantik jelita yang memiliki garis keturunan mulia. Ia lahir dari pasangan “ningrat” bani Adnan yang dianggap “suci” oleh masyarakat.
Ayah dari Zaenab bernama Jahsyi bin Ri’ab bin Yu’ammar bin Shabrah bin Kabir bin Ghanam bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Adapun ibunya Umaimah binti Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu`ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Sementara itu, Zaid bin Haritsah adalah mantan budak. Menurut sejumlah riwayat, Zaid memiliki ciri-ciri berhidung pesek dengan tubuh yang pendek. Zaid sebagai budak dimerdekakan dan diangkat sebagai anak oleh Rasulullah ﷺ. Dalam konteks budaya Arab saat itu, pernikahan antara seseorang dari keturunan bangsawan dengan seorang mantan budak adalah sesuatu yang tidak pernah ada serta dianggap merendahkan status keluarga.
Namun, Allah memerintahkan pernikahan ini melalui wahyu, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Ahzab: 36:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak (pula) bagi perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”
Zainab awalnya menolak untuk menikah dengan Zaid, karena ia merasa bahwa status dirinya lebih tinggi dibanding Zaid. Namun, demi kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya, ia akhirnya menikah dengannya. Sayangnya, pernikahan ini tidak berlangsung lama karena perbedaan karakter dan tekanan sosial yang berat.
Pernikahan Nabi dengan Zainab: Menghapus Tradisi Adopsi Jahiliyah
Setelah Zainab dan Zaid berpisah, Allah menurunkan perintah bagi Nabi Muhammad ﷺ untuk menikahi Zainab. Ini adalah langkah revolusioner dalam masyarakat Arab, karena mereka menganggap anak angkat sama seperti anak kandung, sehingga menikahi mantan istri anak angkat dianggap tabu. Allah kemudian menegaskan dalam QS. Al-Ahzab: 37 bahwa Zaid bukanlah anak kandung Nabi, dan aturan tersebut harus dihapus:
فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِيٓ أَزْوَٰجِ أَدْعِيَآئِهِمْ
اِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًاۗ
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau (Muhammad) dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak angkat mereka, apabila mereka telah menyelesaikan keperluan terhadap istri-istrinya.”
Pernikahan ini menegaskan bahwa hukum Islam tidak mengikuti adat jahiliyah yang membedakan status sosial berdasarkan keturunan.
Islam Menolak Keistimewaan Berdasarkan Keturunan
Kisah ini menjadi pelajaran penting bagi umat Islam bahwa dalam Islam, keutamaan seseorang tidak diukur dari keturunan, tetapi dari ketakwaan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا لِأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
“Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, tidak pula bagi orang non-Arab atas orang Arab, tidak pula bagi orang berkulit merah (putih) atas orang berkulit hitam, tidak pula bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah (putih), kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad)
Di tengah masyarakat yang masih sering terjebak dalam kebanggaan keturunan, kisah Zainab dan Zaid menjadi pengingat bahwa Islam tidak memberikan keistimewaan bagi siapa pun berdasarkan nasab. Keturunan mulia bukanlah jaminan kemuliaan di sisi Allah, sebagaimana Abu Lahab yang berasal dari keluarga Nabi tetap dilaknat karena kesombongannya. Sebaliknya, Bilal bin Rabah, seorang mantan budak dari Habasyah (Ethiopia), justru diangkat derajatnya karena keimanan dan ketakwaannya.
Kesimpulan
Pernikahan Zainab dan Zaid serta pernikahan Nabi dengan Zainab bukan hanya sekadar peristiwa sejarah, tetapi juga memiliki makna sosial yang mendalam. Islam datang untuk menghapus kesenjangan status sosial berdasarkan nasab, menegaskan bahwa kemuliaan seseorang ditentukan oleh takwa, bukan keturunan.
Di era modern, masih banyak masyarakat yang lebih mengutamakan garis keturunan dalam menentukan pasangan hidup, dalam membangun persahabatan, ataupun dalam memilih pemimpin serta jabatan tertentu. Sikap ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menilai manusia dari amal dan ketakwaannya, bukan dari silsilahnya. Kisah ini mengajarkan bahwa jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada pilihan lain bagi orang beriman kecuali menerimanya dengan ikhlas. Wallahu A’lam.