SiaranIndonesia.com- Kota Depok belum lama ini mendapat penilaian sebagai Kota Intoleran di tahun 2021 dari Setara Institute, menanggapi hal tersebut seperti dikutip dari Jurnal Depok.id Wali Kota Depok, Mohammad Idris angkat bicara.
“Harus dikaji secara ilmiah dan jangan asal bunyi (asbun,red), kalau tujuannya mau menjatuhkan pemerintah misalanya, jadi wali kota aja dulu, kita bersaing secara sehat, jangan komentar-komentar jahat seperti itu,” ujar Idris kepada jurnaldepok.id saat menghadiri Rowahan Akbar Selta 1994 Duren Seribu, Bojongsari, Kamis (31/03) malam.
Mohammad Idris mengatakan, harusnya hasil riset itu dipaparkan ke masyarakat seperti metodologinya seperti apa.
“Yang namanya riset itu enggak sembarangan, tapi ilmiah dan rasional, silahkan diadu dengan riset-riset yang lain, titik intolerannya apa?. Misalnya persoalan Ahmadiyah, dimana titik intolerannya?,” tanyanya.
Hingga kini, Idris belum mengetahui apa motif dan indikasi dari riset tersebut. Tapi kuat dugaan riset tersebut sengaja dikeluarkan erat kaitannya dengan politik jelang 2024.
“Itu harus ditanyakan kepada orang Depok, tanyakan apakah selama ini orang Depok toleran atau tidak terhadap minoritas, toleran enggak dengan lain suku?. Selama ini enggak ada orang Betawi dengan orang Sunda berantem, enggak ada, itu kan konflik,” ungkapnya.
Bahkan, lanjut Idris, dirinya tetap memberikan dan menulis surat keputusan (SK) tentang pendirian gereja jika sudah disetujui oleh FKUB dan dirinya tidak pernah menolak.
“Jadi indikasi intolerannya itu apa?. Kalau MUI berani mencabut fatwa sesatnya Ahmadiyah silahkan, ini kan fatwanya masih ada, ada SKB 3 Menteri, kami menjalankan itu. Yang kami hentikan itu kegiatan penyebarannya yang memang dilarang. Penyegelan itu mengantisipasi keamanan, sebab masyarakat sekitar enggak nyaman, justru kami jaga mereka (Ahmadiyah,rd), kalau dibiarkan mereka diserang, kami akan kena UU HAM,” katanya.
Dikatakan Idris, pihaknya memiliki UI dan Chusnul Mar’iyah yang telah mengeluarkan survei dan hasilnya Kota Depok cukup toleran.
“Itu survei UI loh, Ibu Chusnul Mar’iyah dan kawan-kawan sudah melakukan itu. Silahkan didiskusikan oleh mereka, kalau kami intoleran akan kami perbaiki. Depok tetap jadi kota yang toleran kok,” tegasnya.
Sementara itu Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok, Ustad H Khairulloh Ahyari juga mempertanyakan validitas hasil riset Setara Institute tersebut.
“Ini perlu diklarifikasi karena bertolak belakang dengan kenyataan di Kota Depok sejak berabad-abad yang lalu. Faktanya sejak berabad lalu toleransi di Depok sudah sangat terjaga. Sejak 1696 ketika Cornelis Chastelein datang ke Depok, itu penduduk asli kemudian masa pra kemerdekaan, masa kemerdekaan sampai hari ini, bangunan-bangunan yang ada di Depok sejak zamannya itu masih ada, gereja masih ada bahkan bertumbuh,” tandasnya.
Dijelaskannya, belum pernah ada sejarah di Kota Depok ketika konflik keagamaan ada kaca jendela rumah ibadah pecah karena masalah gesekan keagamaan.
“Tidak pernah ada pertumpahan darah juga akibat gesekan umat beragama, jika dibandingkan daerah lain, di Depok tidak peranah itu,” katanya.
Anggota DPRD Depok itu pun mengatakan, jika bahasa intoleran dikaitkan dengan keberadaan Ahmadiyah di Depok, bahwa sejatinya Ahmadiyah ini baru berdiri di Depok belum lama.
“Itu kan muncul setelah ada kasus penutupan Ahmadiyah di Bogor. Kewajiban Pemkot Depok menjalankan SKB 3 Menteri, Pergub dan Perwal. Tujuannya tak lain untuk melindungi mayoritas dan minoritas dalam hal ini Ahmadiyah. Pada kenyataannya toh mereka masih tetap beribadah. Bahkan mereka memperluas bangunan dan membuat pagar yang begitu kokoh, apa itu dirusak?, enggak dirusak tuh, terus demo di depan Ahmadiyah, apa pernah rusuh? Enggak tuh,” tegasnya.
sumber : jurnaldepok.id