Siaranindonesia.com, JAKARTA – PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) memperkenalkan paradigma baru untuk mempercepat pengembangan panas bumi sebagai tulang punggung transisi energi nasional.
Direktur Utama PGE Julfi Hadi menyampaikan bahwa paradigma baru dalam pengembangan energi panas bumi dibutuhkan untuk membuat investasi di sektor energi terbarukan ini lebih menarik dengan tingkat tarif yang ada.
“Selama ini tidak ada cara baru dalam pengembangan panas bumi,” katanya di ajang Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024, Kamis (5/9/2024).
Padahal, percepatan pengembangan panas bumi dalam 6-8 tahun ke depan dibutuhkan untuk mencapai target kapasitas panas bumi nasional sebesar 7 GW pada 2033. Menurutnya, diperlukan terobosan untuk bisa menurunkan biaya pengembangan panas bumi dan mengubah paradigma melalui model bisnis yang baru.
Perubahan paradigma dalam pengembangan energi panas bumi menjadi penting, karena dengan tarif listrik panas bumi saat ini, perlu ada pendekatan yang lebih optimal untuk meningkatkan profitabilitas pengembang (independent power producers/IPP).
Paradigma baru yang ditawarkan PGE mengedepankan tiga strategi utama untuk mencapai hal ini.
Pertama, strategi pembaruan model bisnis melalui pengembangan bertahap di wilayah kerja panas bumi untuk meningkatkan peluang keberhasilan dan optimalisasi biaya, mengingat pengembangan langsung dalam skala besar biasanya sering menimbulkan pembengkakan biaya.
Kedua, strategi menurunkan biaya ongkos pengembangan per unit (USD per MW) melalui penggunaan teknologi baru dan menaikkan volume operasi melalui kolaborasi antar-pengembang panas bumi untuk membangun pasar dan konsolidasi permintaan.
Ketiga, strategi diversifikasi melalui pengembangan bisnis terkait dan manufaktur lokal. Pengembang panas bumi perlu ekspansi bisnis non-kelistrikan (off-grid) seperti hidrogen hijau dan amonia hijau dan mempromosikan pengembangan teknologi dan manufaktur lokal untuk komponen utama pembangkit listrik panas bumi di dalam negeri.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan insentif lainnya seperti akses ke pinjaman lunak (concessional loan) dan penjualan kredit karbon internasional. Hal ini juga memerlukan dukungan pemerintah untuk memberikan insentif tambahan, terutama dukungan untuk peningkatan kandungan lokal dan infrastruktur.
Ia menekankan bahwa pengembang panas bumi perlu meninggalkan paradigma dan model bisnis lama yang masih memakai pendekatan business as usual dan membatasi kolaborasi yang menyebabkan tingkat pengembalian (internal rate of return) marginal.
“Kita perlu berkembang dan berkolaborasi bersama untuk menjadikan panas bumi bisa memainkan peran penting dalam transisi energi nasional,” kata Julfi Hadi.
Dengan sumber daya yang dimiliki, PGE optimistis dapat menjadi motor penggerak dan pemimpin percepatan pengembangan panas bumi nasional.
PGE saat ini mengelola 15 wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan kapasitas terpasang 672 MW yang akan dinaikkan menjadi 1 GW dalam dua sampai tiga tahun ke depan, dengan total potensi cadangan panas bumi sebesar 3 GW yang siap dikembangkan dari 10 WKP yang dikelola sendiri.
“PGE sudah walking the talk dalam mewujudkan paradigma baru. Sudah banyak hal yang kita lakukan seperti berkolaborasi dalam eksplorasi sumber daya, mendorong pengembangan teknologi baru di Indonesia, dan mengembangkan manufaktur lokal. PGE juga menginisiasi proyek percontohan hidrogen hijau di Ulubelu,” pungkas Julfi Hadi.