Malang, Siaran Indonesia.com – Anggota Komisi VII DPR Ridwan Hisjam menyampaikan masih terdapat beberapa isu terkait pengelolaan demokrasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Pemilu di Tanah Air. Menurutnya, isu-isu tersebut memberikan pekerjaan rumah (PR) yang perlu diselesaikan dalam waktu dekat, menengah, dan panjang.
“Persoalan pertama terkait regresi demokrasi. Di mana skor demokrasi Indonesia cenderung mengalami regresi dari tahun-tahun sebelumnya, terutama pada 3 indeks, yaitu indeks budaya politik, partisipasi publik, dan kebebasan berpendapat. Terlihat dari data Freedom House, skor demokrasi Indonesia turun dari 65 di tahun 2017 menjadi 59 di tahun 2022. Sejak tahun 2020, juga sudah ada beberapa publikasi, seperti yang dibuat oleh Thomas Power dan Eve Warburton tahun 2020 yang menyoroti kekhawatiran bahwa demokrasi di Indonesia bergerak dari stagnasi menuju regresi dalam satu dekade terakhir,” ujar Ridwan saat menggelar sosialisasi empat pilar di Aula Yayasan Ash Shaumiyah, Kepanjen, Malang, Jawa Timur, Pada Rabu 6 Maret 2024.
Persoalan kedua yang masih sangat mengganggu demokrasi Indonesia, lanjut Ridwan, yakni masih kuatnya potensi politisasi identitas. Polarisasi politik sebagai akibat dari menguatnya politik identitas bukanlah fenomena baru.
Namun, hal tersebut menjadi lebih jelas dalam beberapa tahun terakhir di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Dalam tiga edisi terakhir pemilu dimulai dari Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pemilu 2019 telah terjadi polarisasi politik yang begitu besar.
“Berdasarkan laporan survei Litbang Kompas bertajuk Tantangan Menepis Polarisasi Politik Pemilu 2024 terekam sejumlah faktor yang dianggap publik sebagai penyebab keterbelahan atau polarisasi politik. Hasil survei menunjukan sebanyak 27,1 persen responden juga menilai, sikap saling tidak menghargai pilihan atau intoleransi menjadi sumber utama terjadinya polarisasi ketika pemilu,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ridwan menerangkan persoalan ketiga adalah praktik politik uang atau money politics. Berdasarkan hasil pemetaan kerawanan pemilu dan pemilihan yang dilakukan oleh Bawaslu pada tahun 2023, terdapat lima provinsi yang dianggap paling rentan dan memerlukan pengawasan ketat.
Kelima provinsi tersebut mencakup Maluku Utara dengan skor 100, diikuti oleh Lampung dengan skor 55,56, Jawa Barat dengan skor 50, Banten dengan skor 44,44, dan Sulawesi Utara dengan skor 38,89.
“Melihat pengalaman pelaksanaan Pemilu 2019, selama masa tenang Bawaslu telah menangkap tangan peserta Pemilu dan tim pemenangan yang diduga sedang memberi uang kepada masyarakat untuk mempengaruhi pilihannya. Total terdapat 25 kasus di 25 kabupaten/kota yang tertangkap. Selain itu, Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri mengatakan bahwa saat ini ada tidak kurang dari 35 kasus politik uang yang ditangani tim Satgas Anti Politik Uang. Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 menyumbang total 262 kasus politik uang yang resmi dilaporkan ke Bawaslu,” pungkasnya.
“Untuk Pemilu 2024, kita belum tahu, semua masih dalam proses,”tambahnya. (Al)