Tulungagung, Siaran Indonesia – Bertempat di Desa Karangrejo, Kecamaran Karangrejo, Kabupaten Tulungagung, digelar pertemuan anggota MPR M. Sarmuji dengan masyarakat Tulungagung yang berasal dari beragam organisasi dan profesi, Rabu 11 Oktober 2023.
Pertemuan itu menurut Sarmuji merupakan serap aspirasi terkait wacana amandemen UUD NRI Tahun 1945 dalam rangka menghidupkan kembali GBHN.
Dalam pertemuan itu, Sarmuji merasa bahagia sebab dalam perjalanan menyerap aspirasi masyarakat terkait wacana amandemen UUD, di Tulungagung paling banyak dihadiri oleh peserta. “Dengan hadir di acara ini merupakan sebuah bukti ada keinginan untuk membawa bangsa ini menuju ke hal yang lebih baik”, ujarnya.
Diungkapkan, keinginan untuk melakukan amandemen terbatas untuk menghidupkan kembali GBHN merupakan rekomendasi MPR periode sebelumnya, MPR Periode 2009-2014 maupun MPR Periode 2014-2019. Rekomendasi tersebut oleh MPR Periode 2019-2024, setelah melakukan Rapat Pleno, disepakati untuk membuka selebar-selebarnya pendapat masyarakat terkait wacana amandemen.
Untuk mendengar aspirasi masyarakat seluruh Indonesia, MPR membagi tugas kepada para pimpinan untuk menyerap aspirasi berdasarkan cluster. “Saya biasa menyerap aspirasi di perguruan tinggi dan pemerintah provinsi”, ungkap Sarmuji.
Dalam menyerap aspirasi ditegaskan tidak bisa dilakukan dalam satu ‘time line’ sebab masalah ini menyangkut hajat rakyat Indonesia. Selain menyerap aspirasi secara massif, lembaga ini juga membentuk Badan Pengkajian MPR dan Komisi Kajian Ketatanegaraan.
“Pimpinan MPR juga melakukan sosialisasi untuk mendengar aspirasi masyarakat”, paparnya.
Apapun pendapat yang ada, baik pro atau kontra semua dicatat oleh MPR. Dengan komunikasi yang transparan, keputusan yang diambil akan membuat masyarakat menjadi tentram.
Diceritakan kepada peserta, haluan negara pertama kali dicetuskan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957 berlanjut hingga pada masa Presiden Soeharto dan berakhir pada awal masa reformasi setelah UUD diamandemen. “Namun hal itu sekarang ingin dihidupkan kembali”, ujarnya.
Keinginan untuk menghidupkan kembali GBHN menurutnya ada anggapan masyarakat yang menyatakan pembangunan yang dilakukan selama ini tidak nyambung atau tidak terkoneksi.
Selama ini antara pemerintah pusat dan daerah serta antara kepala daerah sebelum dan sesudahnya, juga antar Presiden sebelum dan sesudahnya, dalam pembangunan tidak berkesinambungan. Dengan adanya GBHN diharap jurang itu bisa ditutupi. “Selain itu ada anggapan tak adanya GBHN membuat sering gonta – ganti kebijakan”, paparnya.
Untuk itu Sarmuji menegaskan dalam memberikan masukan perlu dilakukan secara ilmiah, analisis, dan berdasarkan fakta di lapangan. “Acara seperti ini akan dicatat sejarah bahwa ini merupakan bagian perjalanan demokrasi di Indonesia”, ucapnya. (Al)