COP28 dan Komitmen Menyelamatkan Bumi
Oleh: Muhammad Irvan Mahmud Asia
(Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam)
Indonesia terus mempersiapkan diri untuk menggolkan beberapa isu strategis dalam perundingan Konferensi Iklim Dunia, Konferensi Para Pihak Anggota The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties ke-28 (COP28) yang akan berlangsung di Dubai akhir November 2023.
Berbagai isu hasil kesepakatan COP21 di Paris, COP26 di Glasgow, dan COP27
di Mesir yang belum dijalankan para pihak harus ditagih kembali dalam COP28. Pemerintah Indonesia sendiri melalui Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan akan menyerukan kolaborasi serta kerjasama: bilateral maupun multilateral untuk mengatasi tantangan perubahan iklim termasuk bagaimana membuat bumi tetap layak dihuni dan menciptakan keadilan ekonomi dan ekologi.
COP28 harus jadi momentum seluruh pihak untuk melakukan aksi pengendalian suhu bumi sekaligus peluang untuk fokus pada agenda iklim, dan Loss and Damage (LnD). COP28 akan dilaksanakan ditengah persoalan polusi udara yang makin memburuk, dan hilangnya keanakaragaman hayati.
Persoalan ini sebagai akibat kerusakan atmosfer dengan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). KLHK mengharapkan perundingan COP28 menghasilkan: keputusan tepat untuk pemanfaatan atas hasil Global Stocktake Pertama, hasil yang ambisius pada adaptasi Global Goal on Adaption (GGA), LnD, dan finance yang terkait LnD, serta melaksanakan apa yang telah dibahas di COP23 Bonn, Jerman yakni pendetilan Mitigation Work Programme (MWP) dan disertai dukungan means of implementation.
Untuk memastikan target 2030 selaras dengan kesepakatan COP21 dan COP26 yaitu meningkatkan produksi energi baru terbarukan; mempertahankan suhu global tidak lebih dari 1.5oC; mengakhiri deforestasi; dan sebelum COP30 tahun 2024 secara kolektif perlu pendanaan US$ 100 miliar/tahun untuk menekan perubahan iklim; serta penyusunan peraturan untuk pasar karbon secara global. Di Indonesia sendiri, beleid pengaturan pasar karbon memasuki babak baru dengan terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon.
Saat ini, 75 persen pembangkit listrik dunia masih menggunakan batu bara dan ini sepertinya akan menjadi isu krusial di COP28 karena pada COP27 tidak ada komitmen untuk memperluas kesepakatan mengurangi emisi batubara serta tidak ada rujukan membatasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada 2025. Indonesia sendiri perusahaan-perusahaan batubara bukannya mengurangi volume produksi justru meningkat. Misalnya PT Adaro Energy Indonesia Tbk selama semester I-2023 memproduksi 33,41 juta ton atau naik 19 persen dari produksi pada semester yang sama di tahun 2022 sebesar 28,02 juta ton. Adapun volume penjualannya dalam periode yang sama naik 19 persen menjadi 32,62 juta dibandingkan tahun 2022 sebesar 27,50 juta ton. Hal yang sama terjadi pada PT ABM Investama Tbk. Bahkan lebih jauh, Kementrian ESDM menargetkan produksi batubara di semester II-2023 bakal lebih besar. Hal ini akibat banyaknya perusahaan batubara yang mengajukan revisi rencana kerja untuk menambah produksi.
Ini tentu membingungkan kita, mengingat Kementrian ESDM belum lama ini bersama Kementrian Keamanan Energi dan Net Zero Inggris memperpanjang kerjasama program menuju transisi energi rendah karbon Indonesia. Program yang awalnya berakhir tahun 2024 ini diperpanjang sampai 2027 dengan Inggris akan memberikan tambahan GBP 6,5 juta (Rp. 135 miliar) untuk meningkatkan program tersebut.
Lebih jauh diperlukan kebijakan yang terus menurunkan batas emisi yang diizinkan agar memaksa industri mengubah teknologi dan memberikan insentif kepada industri yang emisinya semakin rendah. Disini perlu ketelitian karena perdagangan emisi dan pajak karbon yang naik akibat dipicu kewajiban menurunkan emisi akan memicu kelangkaan bahkan sampai pada tingkat ekstrim berupa krisis keuangan jika ketersediaan tidak banyak. Oleh karenanya harus ada hitung-hitungan yang teliti.
Ekonom Joseph Stiglitz turut memberikan insight agar berhati-hati mengingat krisis karbon bisa memicu krisis keuangan dan gagal mengendalikan krisis iklim. Menurut Stiglitz, harga karbon per ton rata-rata dalam pasar emisi dunia sebesar US$ 22/ton terlalu murah untuk bisa mencapai target mengurangi emisi karbon sesuai Kesepakatan Paris 2015 sebesar 45 persen.
Kegagalan mengendalikan krisis iklim akan berdampak pada naiknya suhu bumi. Jika batas suhu bumi 1,5oC terlampaui, setelah 2050 akan sulit mencegah suhu bumi tidak melewati 2oC. Agar suhu bumi bisa dikendalikan, produksi emisi karbon yang menjadi GRK setidaknya 30 miliar ton/tahun. Saat ini, emisi global sebanyak 51 miliar ton. Saat yang sama banyak negara masih melakukan deforestasi termasuk Indonesia.
Walaupun laju deforestasi turun signifikan, termasuk kebakaran hutan juga turun 82 persen pada tahun 2020 selama pemerintahan Joko Widodo, tetap ada catatan khusus mengingat dalam deforestasi selalu membawa dampak turunan terutama konflik dengan masyarakat sekitar hutan dan atau masyarakat adat serta bencana alam. Bahkan konflik berbasis agraria dan sumber daya alam terus bertambah (lebih besar dari era SBY).
COP28 harus bisa memastikan para pihak berkomitmen dengan implementasi kebijakan menyelematkan bumi. Masa depan planet bumi akan ditentukan sejauh mana orientasi pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia tidak lagi didasarkan pada eksploitasi bumi.
Pembabatan hutan, pengerukan mineral dan batu bara, dan berbagai aktifitas ekonomi yang destruktif harus diakhiri. Pembangunan di masa depan harus berorientasi “hijau berkelanjutan” dengan efisiensi energi dan produksi, penggunaan energy terbarukan, material dan teknologi baru. Konteksnya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi yang hijau.
Indonesia mesti menempuh kebijakan yang pro pada penyelematan bumi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil – miskin. Beleid yang memperbolehkan suatu kegiatan tanmpa ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebaiknya ditinjau ulang sebab akan semakin memperparah kondisi iklim di Indonesia. Adapun masyarakat miskin harus diberikan akses yang setara dalam mengelola sumber-sumber agraria dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Hanya dengan seperti itu amanat konstitusi UUD 1945 untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan tertunaikan.