Oleh : Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Jakarta – Sebuah potongan video podcast Deddy Corbuzier dengan bintang tamu Kaesang Pangarep beredar luas di sosial media. Potongan video itu memuat pengakuan posisi Kaesang sebagai anak Presiden yang menguntungkan bisnisnya. Posisi sebagai anak Presiden menjadi suatu privilege yang membantu usahanya.
Potongan video tersebut kemudian ditanggapi oleh pegiat HAM Natalius Pigai dengan mengatakan bahwa video Kaesang tersebut jelas merupakan suatu “trading influences” atau memperdagangkan pengaruh, yang dengan terang terangan diakuinya.
Apa sebenarnya berdagang pengaruh (trading influences) yang sering dipraktekkan pihak pihak tertentu untuk melancarkan bisnis yang dijalankannya? Apa bedanya dengan suap, pemerasan dan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang merupakan perbuatan tindak pidana?
Mengapa berdagang pengaruh ini termasuk kategori bisnis aman yang menjanjikan keuntungan besar bagi pelakunya?. Seperti apa ketentuan dan kendala pengaturan perdagangan pengaruh ini dalam perundang undangan di Indonesia?
Berdagang Pengaruh, Bedanya dengan Suap, Pemerasan dan KKN
Association of Accredited Public Poly Advocates to the European Union menerangkan, memperdagangkan pengaruh sebagai situasi saat seseorang menggunakan pengaruhnya kepada pejabat publik dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan pihak ketiga dengan imbalan kesetiaan, uang atau keuntungan material lainnya.
Dalam Oxford Dictionary, memperdagangkan pengaruh merupakan bentuk penggunakan posisi atau pengaruh politik atas nama seseorang dengan imbalan uang atau bantuan lainnya. Frasa penggunaan posisi mengandung arti bahwa pengaruh dilakukan oleh pihak yang berkuasa, sedangkan penggunaan pengaruh politik atas nama seseorang berarti perbuatan tersebut dilakukan menggunakan jalur kedekatan dengan pihak yang berkuasa.
Dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) yang disahkan pada 30 Oktober 2003 juga dijelaskan soal delik perdagangan pengaruh dimana menurut konvensi ini perdagangan pengaruh adalah saat pejabat publik atas inisiatif sendiri atau menawarkan diri atau menerima permintaan pihak lain bersedia mempergunakan pengaruh politik dan jabatannya, dengan maksud mengintervensi sebuah proses pengambilan keputusan dengan tujuan hasil tertentu yang di inginkannya.
Menurut Artidjo Alkostar, pengaruh adalah suatu tekanan yang mempengaruhi sikap orang untuk menentukan pendapatnya sehingga dengan demikian lebih bersifat tekanan, di mana tekanan dapat berupa: tekanan kekuasaan politik maupun tekanan ekonomi. Dalam arti kata memberi janji, apa pun bentuknya yang berupa yang menguntungkan bagi orang mau dan dapat dipengaruhi.
Dari berbagai literatur, perdagangan pengaruh merupakan bentuk trilateral relationship dalam korupsi. Kejahatan ini setidaknya melibatkan tiga pihak: yakni dua pelaku dari sisi pengambil kebijakan – termasuk orang yang menjual pengaruhnya (tidak mesti harus pejabat publik atau penyelenggara negara); dan pemberian sesuatu yang menginginkan keuntungan dari pejabat publik atau penyelenggara negara.
Perdagangan pengaruh memiliki kemiripan dengan tindak pidana suap, pemerasan maupun KKN, meskipun sebenarnya ada perbedaan didalamnya. Perbedaan perbedaan ini perlu dicermati agar tidak memunculkan pemahaman yang keliru dalam memahami posisi dan penerapan ketentuan hukumnya.
Jika dibandingkan dengan suap, maka perdagangan pengaruh memiliki perbedaan diantaranya kalau dilihat dari aspek pihak yang terlibat maka dalam perdagangan pengaruh si penjual pengaruh tidak mesti harus pejabat publik atau penyelenggara negara sementara dalam hal suap maka penerima suap harus penyelenggara negara karena terdapat unsur menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangan dalam jabatannya.Tapi untuk pemberi suapnya dapat berasal dari penyelenggara negara maupun pihak swasta.
Dari aspek subyek hukumnya maka pelaku si penjual pengaruh bisa berasal dari bukan penyelenggara negara, namun memiliki akses atau kekuasaan kepada otoritas publik pada umumnya. Sementara subyek hukum penerima janji atau penerima hadiah mutlak berasal dari pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Dilihat dari sisi bentuk perbuatan hukumnya maka dalam perdagangan pengaruh, tindakan pelaku tidak memiliki pertentangan secara langsung dengan kewajiban atau kewenangannya.Hal ini berbeda dengan tindak pidana suap karena disini salah satu unsur utama dalam suap adalah perbuatan pelaku yang bertentangan dengan kewajiban atau kewenangannya atau menurut pikiran pemberi tindakannya ada hubungannya dengan jabatan si penerima.
Selain berkaitan dengan Suap, perdagangan pengaruh seringkali dikait kaitkan dengan Pemerasan. Beberapa pihak bahkan menganggap perdagangan pengaruh identik dengan pemerasan. Hal ini disebabkan dalam perdagangan pengaruh, pihak yang berpengaruh meminta insentif kepada klien atas pengaruh yang dimilikinya.
Meskipun demikian, sebenarnya ada perbedaan mendasar antara perdagangan pengaruh dengan pemerasan. Perdagangan pengaruh pada umumnya tidak disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Hal ini berbeda dengan pemerasan, karena perdagangan pengaruh dilakukan dengan lobi-lobi kepada calo atau kepada pihak yang berpengaruh. Sementara itu dalam pemerasan, unsur utama adalah adanya kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan oleh pelakunya.
Seringkali juga perdagangan pengaruh dikait kaitkan dengan KKN. Beberapa pakar beranggapan bahwa perdagangan pengaruh sebenarnya sama dengan bentuk KKN sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN.
Apakah pandangan ini tepat? Untuk menjawab itu semua, perlu ditelaah terlebih dahulu pengertian KKN sebagaimana maksud Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999. Jika melihat kepada unsur-unsur pasal tentang KKN, perdagangan pengaruh sebenarnya memiliki perbedaan yang jelas dengan KKN sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999.
Perbedaannya itu antara lain terkait dengan subyek hukumnya. Subjek hukum dalam Undang-Undang Penyelenggaran Negara yang Bebas KKN adalah penyelenggara negara. Sementara dalam Perdagangan Pengaruh tidak hanya menyangkut penyelenggara negara saja. Selain itu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme harus dibaca senafas, tidak boleh terpisah antara satu dengan yang lainnya. Apabila terpisah maka akan menjadi rancu pengertiannya.
Yang jelas persekongkolan hasil dagang pengaruh hanya akan menghasilkan kebijakan yang koruptif sehingga publik yang akan dirugikannya. Karena perdagangan pengaruh itu tak berlandaskan pada kebutuhan publik dan tidak menyelesaikan masalah publik, tetapi yang hanya melayani permintaan yang punya kuasa dan berpihak kepada kelompok yang membayar sogokan kepadanya. Ujungnya, tentu masyarakat yang akan menerima dampak buruk dari kebijakan yang dirumuskannya.
Berbagai kasus dagang pengaruh menunjukkan bahwa begitu mudahnya membolak-balik kebijakan di negeri ini meskipun kita sebenarnya sudah mempunyai aturan- aturan hukum yang mengaturnya. Pada hal sudah ada aturan bagaimana kewenangan pemerintah dijalankan dan prinsip-prinsip penggunaan kewenangan, tetap saja ada tangan-tangan yang berpengaruh yang bisa mengutak- atiknya.
Dalam kondisi di mana birokrasi pemerintah dengan mudah dipengaruhi oleh kepentingan koruptif dalam menetapkan kebijakan, maka perdagangan pengaruh memang akan semakin meningkat intensitasnya.
Bisnis Aman?
Kisah dagang pengaruh boleh dikatakan sebagai cerita lama di Indonesia. Sejak masa pemerintahan Orde Lama (Orla), yang namanya dagang pengaruh itu sudah biasa dipraktekkan khususnya oleh mereka yang dekat dengan penguasa. Cerita itu selalu berulang hingga saat ini di era reformasi yang berhasil menggusur kekuasaan orde baru (Orba).
Pada masa Orla, dagang pengaruh lebih dominan dilakukan pejabat- pejabat yang duduk di kursi kekuasaan eksekutif sebagai pejabat negara. Beberapa menteri di era sistem pemerintahan parlementer pernah dituduh melakukan dagang pengaruh yang merugikan keuangan negara.
Contoh Iskaq Tjokrohadisurjo, Menteri Perdagangan era Kabinet Ali Sastroamidjojo, pernah diseret ke pengadilan karena dinilai menyalahgunakan pengaruhnya. Dengan pengaruhnya, Menteri Perdagangan Iskaq dituduh “mengatur” lisensi impor bagi perusahaan orang-orang dekatnya.
Pada masa Orba, kekuasaan eksekutif yang dominan memonopoli pola korupsi ini sama halnya dengan masa Orla. Di zaman sekarang, dagang pengaruh tersebar di simpul-simpul kekuasaan “trias politika” seiring menyebarnya kekuasaan negara. Bahkan, aktor eksternal pemerintahan memiliki peran yang semakin penting, ketua partai politik, misalnya.
Meskipun patut diduga praktek dagang pengaruh sudah merajalela disimpul simpul kekuasaan “trias politika”, tetapi para pelakunya sejauh ini aman aman saja. Sejauh ini belum ada satupun kasus hukum yang terkait dengan “memperdagangkan pengaruh” yang telah diadili untuk kemudian pelakunya di kirim ke penjara.
Pasca reformasi, salah satu kasus yang “dikaitkan” dengan memperdagangkan pengaruh adalah kasus impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) Cs, mantan Presiden PKS dan anggota DPR RI, yang diduga memperdagangkan pengaruhnya.
Dalam dakwaan terhadap LHI dan Ahmad Fathanah (AF) ada disebut LHI “memperdagangkan pengaruhnya”. Akan tetapi sebutan demikian hanya dikaitkan saja dengan delik korupsi yang didakwakan, artinya, bukan dengan pasal tersendiri berupa pasal memperdagangkan pengaruh sebagai delik pidana. Seperti diketahui, LHI dijerat dengan Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 12 huruf a dan b UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Kasus yang hampir sama dengan LHI cs pernah menimpa Tubagus Chaeri Wardana (TCW) alias Wawan, adik Gubernur Banten Ratut Atut Chosiyah sekaligus suami dari mantan Walikota Tanggerang Selatan (Tangsel) Airin Rachmi Diany, yang tertangkap KPK dalam kasus suap terhadap Akil Mochtar mantan Ketua Mahkahmah Konstitusi (MK).
Apa jadinya andai TCW alias Wawan, tak tertangkap KPK dalam kasus suap terhadap Akil Mochtar Ketua MK ?. Kemungkinan besar TCW akan aman-aman saja. Sekalipun sudah menjadi rahasia umum bahwa di Banten TCW memanfaatkan pengaruhnya, sebagai adik Gubernur Atut dan suami Walikota Tangsel Airin, untuk memperoleh keuntungan yang tak semestinya.
Dengan pengaruhnya itu TCW terindikasi kuat mengatur proyek-proyek yang didanai APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) di Banten dan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Seperti diungkap Lembaga Kajian Independen (LKI) Banten, TCW cukup cerdik mengerjakan proyek APBN atau APBD bukan atas namanya sendiri, melainkan atas nama orang-orang yang menjadi kaki-tangannya. “Jadi dalam dokumen kontrak pekerjaan tidak ada nama TCW tetapi anak buah atau kaki tangannya,” tandas Ketua LKI Banten Dimas Kusuma.
Berdasarkan dua kasus yang digambarkan diatas nampak bahwa Perdagangan Pengaruh sebenarnya aman aman saja karena delik “memperdagangkan pengaruh” belum tegas diatur dalam hukum positif di Indonesia.
Dalam kasus LHI cs dan TCW yang kemudian di proses oleh KPK karena keduanya sedang sial saja. Dalam kasus LHI cs , yang bersangkutan di sebut “memperdagangkan pengaruhnya” tetapi sebutan demikian hanya dikaitkan saja dengan delik korupsi yang didakwakan, artinya, bukan dengan pasal tersendiri berupa pasal memperdagangkan pengaruh sebagai delik pidana.
Sementara itu dalam kasus TCW, yang bersangkutan ditangkap KPK karena kebetulan sedang tertangkap basah menyuap Ketua Hakim MK. Jadi mereka tidak di tangkap karena “perdagangan pengaruh” yang telah dilakukannya.
Memang agak aneh kedengarannya ketika ada perbuatan yang patut diduga “mengandung” tindak pidana karena bisa merugikan negara tetapi pelakunya bisa melakukannya dengan aman aman saja tanpa adanya ketentuan hukum yang bisa menjeratnya.
Pada hal bisnis dagang pengaruh terindikasi pidana meskipun menjanjikan keuntungan berlipat ganda bagi pelakunya. Hanya bermodal “pengaruh” dekat dengan orang yang punya kuasa kemudian memanfaatkannya, mereka bisa mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
Sudah Waktunya Diatur
Hanya dengan jualan pengaruh bisa menangguk untung yang berlipat ganda tapi merugikan kepentingan publik pada umumnya. Perbuatan ini tentu saja perlu di atur agar supaya tidak semakin merajalela. Soalnya pada zaman baheula saja yang namanya dagang pengaruh ini sudah ada sanksinya. Konon kabarnya dahulu kala Gubernur Mesopotamia saja pernah dihukum gantung karena memperdagangkan pengaruhnya.
Di era modern saat ini, banyak juga pemimpin pemimpin dunia yang terjerat kasus hukum karena memperdagangkan pengaruhnya. Mantan Presiden Prancis, Nicholas Sarkozy, salah satunya. Pada 1 Juli 2014, Kepolisian Prancis menahan dan memeriksa Sarkozy 15 jam lamanya.
Dia diduga menggunakan jabatan dan pengaruhnya saat masih menjabat buat menghentikan pengusutan aliran dana ilegal dalam kampanye politiknya. Sebagai imbalannya, dia menjanjikan salah satu Hakim Agung Prancis, Gilbert Azibert, jabatan penting di Monaco.
Sehari kemudian, Sarkozy dan Azibert menjadi tersangka korupsi serta penyalahgunaan pengaruh jabatan yang disandangnya. Perkara ini juga telah mengandaskan langkah Sarkozy buat melaju dalam pemilihan presiden Prancis periode berikutnya. Februari 2016, Sarkozy menjadi tersangka aliran dana ilegal dalam kampanye politiknya. Sementara itu Wakil Presiden Argentina, Amado Boudou, juga dituding memperdagangkan pengaruh bersama dengan beberapa anggota keluarga dan rekannya.
Amado Boudou saat masih menjadi Menteri Ekonomi Argentina disebut sengaja menunjuk langsung perusahaan percetakan swasta, Ciccone Calcográfica, buat mencetak uang kertas sebanyak ARS (Peso Argentina) 120 juta, membikin pelat pencetak, dan surat berharga pemerintah lainnya.
Perdagangan pengaruh yang diduga dilakukan oleh pemimpin dunia juga terjadi di Amerika. Pada desember delapan tahun lalu, politikus Amerika Serikat, Rod Blagojevich, yang pernah menjadi Gubernur Negara Bagian Illinois dituding menggunakan jabatannya dan pengaruhnya buat menjual posisi senator ditinggalkan Presiden AS, Barack Obama.
Karena fenomena tersebut pada akhirnya di tingkat Internasional, soal dagang pengaruh ini diatur sesuai ketentuan yang ada. Perdagangan Pengaruh diatur dalam Pasal 18 Konvensi PBB Melawan Korupsi yang disahkan di Merida, Meksiko, tahun 2003.
Sebelumnya, negara-negara di Eropa juga telah mengenal delik Perdagangan Pengaruh ini, bahkan yang menarik dari publikasi Council of Europe (CoE) tahun 2000, Perdagangan Pengaruh ini dikaitkan dengan pendanaan illegal partai politik yang sering dipraktekkan oleh politisi yang ada disana.
Memperdagangkan pengaruh dihubungkan dengan pendanaan politik secara tidak sah ini dikenal dengan jenis korupsi kerelasian trilateral dengan pelaku tidak hanya pejabat negara, tetapi juga warga negara biasa. Deskripsi yang sama terjadi di Inggris melalui Prevention of Corruption Act (Willeke Slingerland, 2010 : 3).
Dalam kaitan dengan Perdagangan Pengaruh ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Melawan Korupsi melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 pada 19 September 2006. Secara keseluruhan, per Desember 2012, tercatat 165 negara tercantum sebagai negara pihak dalam konvensi PBB melawan korupsi ini termasuk Indonesia.
Namun meskipun Indonesia telah meratifikasi ketentuan UNCAC dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan The United Nations Convention Against Corruption, sampai saat ini Indonesia belum mengadopsi ketentuan mengenai perbuatan Perdagangan Pengaruh sebagai Tindak Pidana Korupsi ke dalam Undang Undang nasionalnya.
Pada hal konsekuensi yuridis dengan telah diratifikasinya UNCAC oleh Indonesia melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC adalah adanya keharusan untuk mengadopsi norma-norma yang dianggap penting ke dalam hukum positif di Indonesia.
Kebijakan untuk mengadopsi ketentuan memperdagangkan pengaruh ke dalam hukum positif bisa dilakukan melalui dua alternatif yaitu: revisi KUHP atau revisi Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Melalui revisi KUHP, keberadaan pasal yang mengatur mengenai memperdagangkan pengaruh pernah masuk dalam RKUHP, namun dalam Rancangan tahun 2019 tidak ditemukan lagi eksistensinya. Karena itu, akomodasi melalui revisi UU PTPK dipandang lebih tepat untuk diupayakan ke depannya.
Pengaturan perbuatan memperdagangkan pengaruh dalam RKUHP sendiri sebenarnya kurang tepat, walaupun politik hukum yang dibangun adalah melakukan kodifikasi UU Hukum Pidana.
Pertama, perbuatan tersebut jika dimasukkan dalam kodifikasi (dalam hal ini adalah KUHP) akan merusak sistem kodifikasi tersebut. Sebagai contoh, dalam UU PTPK, perbuatan percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat dalam melakukan tindak pidana korupsi diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku inti, sedangkan dalam KUHP, perbuatan-perbuatan tersebut ancaman pidananya dikurangi sepertiga.
Kedua, sulit untuk melakukan perubahan dalam KUHP, disebabkan upaya revisi KUHP sudah sangat lama ingin dilakukan namun tidak pernah tuntas juga. Hal ini tentu berisiko jika mengingat maraknya perbuatan memperdagangkan pengaruh yang terjadi di Indonesia.
Karena itu, akomodasi melalui revisi UU PTPK, yang merupakan ketentuan khusus dalam hukum pidana, menjadi lebih strategis penerapannya. Secara historis, pengaturan melalui ketentuan khusus ini juga dijumpai dalam hukum Indonesia, yaitu dalam keadaan yang mendesak dan perlu segera diatur.
Misalnya, Peraturan Penguasa Perang Pusat mengenai Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang dikeluarkan ketika seluruh wilayah negara Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang yang kemudian diundangkan dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1961.
Oleh karena itu, upaya paling tepat adalah mengadopsi ketentuan memperdagangkan pengaruh ke dalam revisi UU PTPK. Upaya untuk mengatur perbuatan memperdagangkan pengaruh ke dalam revisi UU PTPK sebenarnya sudah beberapa kali dilakukan, misalnya dalam Pasal 7 draft Rancangan UU PTPK.
Namun sampai saat ini revisi UU ini belum menjadi prioritas, padahal urgensi revisinya seharusnya dapat memuat pengaturan memperdagangkan pengaruh menjadi hukum positif di Indonesia.
Apa Kendalanya?
Seperti telah dikemukakan diatas. keberadaan pasal yang mengatur mengenai perbuatan memperdagangkan pengaruh sudah pernah diupayakan untuk diadopsi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh pemerintah, namun nyatanya ketentuan tersebut tidak dijumpai pada Rancangan versi 2019.
Upaya untuk mengatur perbuatan memperdagangkan pengaruh ke dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) juga sudah beberapa kali dilakukan, misalnya dalam Pasal 7 Draft Rancangan PTPK.
Namun demikian, hingga saat ini belum ada aturan yang dapat menjerat pelaku perbuatan memperdagangkan pengaruh sehinga penegak hukum mengkontruksikan dakwaan dengan menggunakan pasal lain dalam UU PTPK.
Dalam penerapan konsep memperdagangkan pengaruh ke dalam produk hukum, hingga saat ini belum semua negara yang meratifikasi UNCAC mentransformasikannya ke dalam hukum nasionalnya termasuk Indonesia.
Hal tersebut disebabkan antara lain karena sifat non mandatory offences dari ketentuan Pasal 18 UNCAC yang mengatur mengenai perbuatan memperdagangkan pengaruh sehingga beberapa negara mungkin menganggap tidak terlalu urgen untuk mentransformasikan kedalam ketentuan hukum nasionalnya.
Penyebab lainnya adalah karena lobbying oleh para pelobi yang sangat lekat dengan persoalan “berdagang pengaruh” menjadi suatu profesi yang legal di beberapa negara.Sehingga kalau ketentuan tentang dagang pengaruh ini dilegalkan dikuatirkan akan mengancam eksistensi mereka.
Penyebab utama lainnya mengapa belum diaturnya perbuatan memperdagangkan pengaruh ke dalam hukum positif termasuk Indonesia karena perbuatan tersebut dinilai sulit untuk dimengerti dan juga sulit untuk digambarkan bentuknya.
Selain itu menurut Micheal Johnston, “ruang lingkup dari korupsi memperdagangkan pengaruh sulit untuk dispesifikasikan” ruang lingkupnya. Adalah Association of Accredited Public Policy Advocates to The European Union (AAELP) menyatakan hal yang senada terkait sulitnya konsep memperdagangkan pengaruh, yaitu “kesulitan untuk mengkriminalisasi perdagangan pengaruh karena perbuatan itu merupakan perbuatan korupsi yang dinilai kabur konstruksi hukumnya.
Seorang pejabat yang dipengaruhi sulit untuk dibuktikan karena karena hubungan antara subjek yang berbuat dan subjek yang dipengaruhi tidak begitu jelas sehingga sulit untuk diinvestigasi dan dibuktikan” dimana letak kesalahannya.
Berbagai persoalan tersebut menunjukkan perumusan perbuatan memperdagangkan pengaruh sebagai tindak pidana korupsi ke dalam hukum positif urgen dan mendesak untuk diupayakan perwujudannya. Terlebih dalam hukum pidana berlaku prinsip lex certa, yang menghendaki suatu aturan hukum harus dirumuskan secara tegas sehingga tidak ada ambiguitas dalam penerapannya.
Sebagai negara yang telah meratifikasi UNCAC, sudah menjadi konsekuensi yuridis untuk mengimplementasikasikan norma-norma esensial ke dalam hukum positif di negara kita. Selain sebagai bentuk komitmen atas ratifikasi UNCAC, implementasinya dalam hukum nasional juga menjadi langkah perbaikan yuridis atas pemberantasan korupsi di Indonesia.
Terlebih, modus operandi korupsi saat ini tidak hanya dalam bentuk yang telah diakomodasi dalam UU PTPK, seperti merugikan keuangan negara, suap, gratifikasi dan lainnya, tetapi juga, dan ini yang paling mengkhawatirkan, korupsi yang pada substansinya membajak fungsi-fungsi otoritas publik untuk kepentingan bisnis, politik, ataupun gabungan dari keduanya. Bagaimana menurut Anda?