INSTABILITAS DAN KRISIS PANGAN
Oleh: Dian Kresna Yudha (Founder Tetanen.com)
Presiden Joko Widodo mengingatkan pentingnya kemandirian pangan Indonesia. Apa yang di headline Presiden tersebut sangat beralasan. Beberapa negara sudah mulai mengalami krisis berupa kelaparan. Diperkirakan sudah sampai 13 juta jiwa. Kelaparan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai 24 Februari, negara yang memberlakukan pembatasan ekspor pangan meningkat dari 3 menjadi 16 (per awal April) dan kembali naik menjadi 22 negara (awal Juni 2022). Terjadi ekponensial yang tidak bisa dianggap remeh. Pemerintah di 22 negara itu menyetop ekspor pangan, sebagai bentuk proteksi pangan dalam negerinya.
Ada lima komoditas pangan paling terdampak perang Rusia-Ukraina: gandum, minyak sawit, jagung minyak bunga matahari, dan minyak kedelai. Dampak pembatasan dan pelarangan ekspor pangan berujung pada mengetatnya ketersediaan pangan, memicu lonjakan harga, mengancam ketahanan pangan terutama negara miskin, memperburuk rantai pasok pangan, dan menciptakan suasana panik di pasar global (Koran Sindo, 31 Mei 2022).
Sementara komoditas yang mengalami pembatasan ekspor sangat beragam. Serbia misalnya, menerapkan kuota pada pengiriman biji-bijian ke sejumlah negara. Dengan demikian gandum, jagung, tepung terigu, minyak dilarang ekspor sampai 31 Desember 2022. Begitupula Turki menetapkan daging sapi, daging kambing, daging kambing, mentega dan minyak goreng menjadi produk yang dilarang untuk dikirim ke negara lain. Kebijakan ini berlaku sampai akhir 2022. Rusia dan Ukraina merupakan dua negara dengan penyumbang 12% dari total kalori yang diperdagangkan di dunia. Rusia melakukan pelarangan ekspor gula, biji bunga matahari diterapkan sampai 31 Agustus 2022. Beda lagi dengan Ukraina yang tidak bisa ekspor gandum, millet, gula karena perang. Ukraina belum dapat mengekspor biji-bijian, pupuk dan minyak sayur, sementara konflik juga menghancurkan ladang tanaman. Sementara India melarang ekspor gandum mulai 13 Mei hingga 31 Desember 2022. Hal ini menyebabkan harga komoditas gandum dan produk turunannya naik signifikan. India juga berencana membatasi ekspor gula untuk pertama kali sejak enam tahun terakhir.
Lantas apa dampaknya bagi Indonesia dan seperti apa kondisi teraktual Pangan Indonesia? ini harus di jawab dengan akurat dengan mengedepankan keterbukaan data dan informasi dari pemerintah Indonesia.
Instabilitas dan krisis pangan global ini juga mempengaruhi Indonesia, setidaknya dari sisi harga pangan dalam negeri. Berbagai kebutuhan pokok meningkat tajam seperti minyak goreng, kedelai, daging, dan lain-lain. Lebih dari itu, masih terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan pangan dan pertumbuhan kapasitas produksi dalam negeri yang sudah berlangsung lama seperti gula dan kedelai yang membawa dampak meningkatnya penyediaan pangan nasional yang berasal dari impor. Dalam jangka pendek masih bisa di tolerir terkait dengan upaya mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional. Akan tetapi Ketergantungan pangan impor dalam jangka panjang sangat beresiko.
Hal ini semakin mempertegas Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Indonesia yang masih memprihatinkan selama tahun 2012-2018. Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index) yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit (EIU), 2018, berturut-turut tahun 2012 skor Indeks 46,8 dan 2013 turun 45,6 (posisi ke 5 di ASEAN). Ketahahan pangan Indonesia masih di bawah Malaysia dengan skor Indeks 63,9, Thailand 57,9, Vietnam 50,4 dan Filipina 47,1. Tahun 2014 skor Indeks Indeks Indonesia 46,5, tahun 2015 46,7, tahun 2016 50,6, tahun 2017 51,3 dan tahun 2018 54,8. Dengan skor ini Indonesia masih berada diperingkat 65 dunia dan masih tetap ke 5 di ASEAN. Kondisi ini menunjukkan Indonesia masih tertinggal dari negara-negara ASEAN dalam hal jaminan ketersediaan dan aksesibilitas pangan bagi penduduknya.
Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan menjelaskan bahwa kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal; sementara kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Dari defenisi tersebut, bisa dikatakan kedaulatan pangan belum dicapai, bahkan dalam lingkup terkecil yakni rumah tangga, apalagi memenuhi kriteria ketiga defenisi tersebut yakni beranekaragam, jumlah yang cukup, mutu, aman, bergizi, merata, dan terjangkau.
Diversifikasi untuk Mengurangi Krisis
Penganekaragaman (diversifikasi) pangan merupakan salah satu indikator dari kemandirian pangan. Diversifikasi pangan perlu ditekankan pada penganekaragaman yang berbasis pada sumberdaya lokal bukan pengganekaragaman berbasis impor pangan. Semua pangan lokal sangat potensial untuk dikembangkan menjadi pangan alternatif untuk perlahan mengurangi ketergantungan terhadap beras sekaligus sebagai jawaban menghadapi paceklik dan kelaparan.
Sukarno berkata, soal pangan adalah soal hidup matinya suatu bangsa. Sukarno menyadari betul bahwa rakyat yang lapar, tidak dengan serta merta kenyang hanya dengan dilemparkan kitab konstitusi. Ia sadar rakyat yang lapar bisa memicu kerusuhan sosial bahkan dis-integrasi bangsa. Dalam perspektif lebih luas, politik luar negeri, pangan menempati posisi strategis, bisa menjadi senjata untuk memukul dan menguasai negara lain. Seperti yang dikatakan Henry Kissinger (Mantan Menlu AS) kuasai minyak, maka Anda akan menguasai bangsa-bangsa. Kuasai pangan, maka Anda akan menguasai rakyat. Kita perlu merenungkan ucapan Mahatma Gandhi “bagaimana negara bisa sepenuhnya merdeka, bila pangan rakyatnya tak bisa dicukupi sendiri”.
Dalam kerangka diversifikasi, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dan dipenuhi: usaha memproduksi bahan pangan; pengadaan dan distribusi bahan pangan baik secara kuantitas maupun kualitas. Dua hal tersebut menjadi hak rakyat dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan; mulai skala rumah tangga, regional hingga nasional. Usaha memproduksi pangan, terkesan sebagai kewajiban dalam memenuhi kebutuhan pangan warga negara. Padahal dengan analisis yang komprehensif, usaha memproduksi bahan pangan juga merupakan hak rakyat. Hak rakyat untuk menunjukan kemandiriannya memenuhi kebutuhan pangan dengan dukungan penuh dari negara.
Diversifikas Pangan sebagai “strategi” tidak hanya soal pemenuhan hak asasi setiap warga negara tetapi sudah menjadi bagian dari pertahanan suatu negara bangsa; urusannya terkait perang dan perebutann sumber energi. Kedaulatan pangan melalui jalan diversifikasi bisa menjadi modal kuat untuk bersaing dan disegani oleh bangsa-bangsa lain.
Dengan demikian, untuk bisa keluar dari masalah ini dibutuhkan perubahan mendasar dan komitmen keberlanjutan; diawali dari perubahan paradigma dan kebijakan dalam pembangunan pangan nasional. Oleh karena itu, penulis mengusulkan bangsa ini meninggalkan paradigma revolusi hijau dan berpindah keparadigma pembangunan berbasis manusia (people centered development). Dalam khasanah pembangunan internasional, paradigma ini dipegang oleh United Nation Development Programme (UNDP). Pilihan atas paradigma ini didasarkan pada kebutuhan untuk menghargai manusia petani sebagai objek yang merdeka dan bebas serta potensi untuk maju; mengurangi ketimpangan ekonomi (individu-wilayah) dengan menghargai kepandaian-kearifan-kebijaksanaan lokalitas. Pendekatan ini juga meluas pada aspek seperti lingkungan (berkelanjutan). Bahwa dalam pembangunan diversifikasi (penganekaragaman) pangan harus memperhatikan ekosistem.
Untuk mempercepat terwujudnya diversifikasi pangan, harus ada skenario besar dari pemerintah dan itu harus dimulai dari perundang-undangan yang kuat dan peraturan turunan yang sinergis dan yang lebih penting lagi adalah menjalankan isi aturan tersebut tanmpa kompromi (ketegasan). Dalam Arah Kebijakan Pangan dan Pertanian 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025), juga diamanatkan sistem ketahanan pangan diarahkan untuk menjaga ketahanan dan kemandirian pangan nasional (penulis lebih mengusulkan kedaulatan), dengan mengembangkan kemampuan produksi dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga; jumlah, mutu, keamanan, dan harga yang terjangkau, didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam, sesuai dengan potensi wilayah berbasis kearifan lokal.
Dalam ranah kebijakan perlu dibuat secara komprehensif dan integartif. Pemerintah harus melakukan intervensi untuk memastikan UU Pangan khususnya bagian diversifikasi dijalankan dan segara membentuk badan pangan nasional sebagaimana diamanatkan UU tersebut; juga tidak kalah pentingnya adalah mempertahankan lahan pertanian produktif. Instrumen kebijakan yang dibuat harus diimplementasikan secara konsisten dan konsekuen.
Perihal data pangan, negara harus hadir untuk menyediakan data yang berkualitas, objektif dan mudah diakses. Data tersebut menjadi penting terutama untuk mendukung setiap proses perencanaan hingga pengambilan keputusan, juga untuk mendukung berbagai penelitian, inovasi serta investasi. Hal lain secara lebih khusus, misalnya terkait kapasitas produksi dan efisiensi produksi; disini bisa dipertimbangkan untuk menempuh kebijakan: (1) menjalankan reforma agraria melalui pola klaster-klaster produksi pangan, ada penataan aset sampai akses; (2) penugasan dan penunjukan wilayah dan atau daerah untuk melakukan produksi komoditas berbasis kesesuaian lahan; (3) penguatan kelembagaan petani, pembentukan badan usaha milik petani; (4) memperkuat infrastruktur pertanian dengan cara: percepatan pembangunan proyek infrastruktur penunjang produksi pangan; percepatan pembangunan dan perbaikan/renovasi irigasi; dan meningkatkan upaya fiskal dalam meningkatkan produktivitas pangan yang beragam; (5) mendorong peningkatan pembiayaan sektor pertanian dengan cara perluasan dan peningkatan penyaluran KUR dan perluasan asuransi pertanian dan sebagainya.