Siaranindonesia-Kenapa banyak orang, organisasi masyarakat, organisasi agama, majelis taklim dan dunia usaha menyelenggarakan Halal Bihalal sehabis shaum Ramadhan dan Lebaran Idulfitri?
Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Kota Depok, Dr. K.H. Ahmad Dimyathi Badruzzaman menjawab, katanya karena Halal Bihalal itu memiliki kemaslahatan dan kemuliaan.
Pertama, karena manusia itu tidak luput dari kesalahan dan dosa, kecuali para nabi sebab nabi itu “maksum” alias dosa-dosanya sudah diampuni Allah Swt. Ada pun kita umat nabi dan keturunan Nabi Adam As berdosa dan dosanya bakal dihisab. Ada pun dosa itu pada hakikatnya terdiri atas dua jenis, yaitu dosa kepada Allah dengan segera bertobat, dan dosa kepada sesama yang kudu dimintai maafnya.
“Manakala dosa kita lebih berat timbangannya dari pada amal saleh dan kebajikannya, maka nerakalah tempatnya. Tapi ingat, jika dosa kita kepada sesama belum dimaafkan oleh yang bersangkutan, mereka akan mengadu kepada Allah, lalu Allah akan memperkenankan untuk mengambilnya dari ‘pos’ atau tabungan pahala kita,” ujarnya.
“Jika banyak tetangga atau kerabat yang pernah kita fitnah, kita sakiti, kita gibahi mengambil tabungan pahala kita, hingga akhirnya pahala amal kebajikan itu habis bahkan tekor hingga dosa mereka kita tanggung, maka jadilah kita orang bangkrut. Itulah makna orang bangkrut yang dimaksud dalam hadis Nabi Saw dalam Shahih Bukhari – Muslim dan dikutip oleh Imam Nawawi,” ujar Ahmad Dimyathi yang juga ahli tafsir Qur’an dan hadis.”Selanjutnya orang bangkrut tadi akan dilemparkan ke neraka jahanam,” sambungnya. Oleh karena itu, Ketum MUI dan dosen Sekolah Tinggi Kuliyatul Qur’an Al-Hikam ini menilai bahwa tradisi Halal Bihalal itu baik, karena Halal Bihalal itu bermakna “saling memaafkan” antar sesama.
Lantas, kenapa acara Halal Bihalal itu dilaksanakan di bulan Syawal, bukannya di bulan Ramadhan, Sya’ban atau Rajab, tiada lain lantaran tujuan utama shaum atau puasa Ramadhan di bulan Ramadhan adalah untuk meraih posisi mulia, yaitu menjadi manusia Takwa.Ini selaras dengan perkataan Allah dalam QS Ali Imran/3 : 133 yang berbunyi : “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.”
Kedua, pendiri Ponpes modern Al-Qur’an Darus-Sholihin dan penulis buku best seller “Umat Bertanya, Ulama Menjawab” ini mengungkapkan tiga ciri-ciri yang dimaksud dengan orang yang bertakwa, yaitu pertama adalah selalu berbagi atau berinfak baik di kala lapang maupun sempit.
Ingat, katanya, infak itu tidak selalu identik dengan uang atau fulus, loh. Bisa juga dengan ilmu atau ide-ide cemerlang. Juga bisa dengan tenaga atau dengan senyuman. “Asalkan tidak senyum sendirian saja,” tukas Kyai Dimyathi.
Ketiga, adalah orang yang sanggup menahan amarah alias sabar. Al-Qur’an dan Nabi membolehkan, loh, kita membalas keburukan atau kezaliman orang kepada kita. Asalkan setara. Jangan melebihinya. Semisal gegara sendal kita ada yang menukar di Masjid, lantas kita menyumpahinya dengan kata-kata begini, “Ya Allah, biarlah orang yang ambil sendalku ini mencret sampai tujuh turunan, hehehe … Itu namanya tidak setimpal, donggg …”.
Tapi sebaliknya, tutur sang Kyai, jangan pula kita berdiam diri. “Terutama terhadap orang yang menista agama kita, menista Allah, menista Al-Qur’an, menista Nabi kita. Untuk itu kita kudu bereaksi. Kalau tidak bereaksi justru kayak keledai, demikian kata seorang sufi. Ketiga adalah memberi maaf kepada sesama.
“Sebuah perbuatan yang mulia dan bijaksana, tapi berat untuk melakukannya. Bagaimana pun kita kudu mampu melakukan kebajikan tersebut sebagaimana pesan Allah dalam QS Ali Imran : 134,” ujar Kyai Dimyathi di kajian Ahad Subuh Masjid Al-Muhajirin barusan (29/5/22). **