(23/01) Nur Institute kembali menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Apa Salah Presidential Threshold di Pilpres 2024?”. Pada kesempatan itu dihadiri oleh enam narasumber dari berbagai latarbelakang yang beragam. Keseluruhannya pun merupakan representasi dari kaum muda yang selalu aktif memperjuangkan narasi gagasan dengan landasan semangat juang pemuda.
Diskursus pengaturan sistem Presidensial Threshold (PT) beberapa tahun belakangan menimbulkan tanggapan pro-kontra di berbagai kalangan. Pihak yang pro dengan sistem PT mendalilkan bahwa ambang batas diperlukan untuk memperkuat sistem Presidensial dan jalan konstitusional untuk mewujudkan model partai politik sederhana.
Marlina Buamona (Presidium FORHATI Maluku Utara) memandang forum diskusi publik yang mengangkat tema politik dengan melibatkan aktivis dan politisi muda menjadi amat penting dalam rangka meningkatkan kesadaran generasi muda sebagai penyangga bangsa ini. Begitu pula, dalam konteks kehidupan bernegara, kehadiran parpol adalah penyangga demokrasi.
“Kerja keras partai politik akan menentukan indikator pilihan rakyat. Keberadaan PT menurut saya menjadi penting untuk mengukur indikator kesungguhan parpol dalam bekerja keras. Tentu berbeda perlakuan antara parpol yang telah bekerja keras dengan parpol yang tidak bekerja keras. Menghapus PT tidak relevan dengan konteks keadilan”, tegas Marlina Buamona.
M.Thobahul Aftoni, (Sekretaris Jenderal PP Gerakan Pemuda Ka’bah) menegaskan pengaturan PT 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional tidak menimbulkan masalah dari segi konsolidasi demokrasi. Ia menilai, penolakan terhadap PT merupakan dinamika politik dari partai politik oposisi. Demikian pula alasan penghapusan PT sebagai usaha untuk meningkatkan partisipasi pemilih, dalam prakteknya tidak juga benar.
“Pemilu 2004 ke 2019 justru mengalami peningkatan dari segi partisipasi pemilih. Pada 2004 dengan kehadiran calon lebih dari 2, partisipasi pemilih hanya 23 persen. Sedangkan dengan sistem PT di 2019 partisipasi pemilih sebesar 80 persen. Dengan PT konsolidasi politik dapat dilakukan sebelum pemilu, sehingga melahirkan Koalisi yang lebih solid dan akan terjadi penyamaan visi antara parpol koalisi.”, ungkap M.Thobahul Aftoni.
Dwi Candra Putra (Ketua Komisi A DPRD Kota Yogyakarta/ Fraksi Partai Nasdem) mengungkapkan harapan besar kepada generasi muda untuk tidak anti-politik. Karena 5 tahun atau 10 tahun ke depan Indonesia akan dipimpin oleh anak muda sekarang.
“Jika saya ditanya apakah sistem PT itu salah?, baik sebagai politisi muda, sebagai wakil ketua Fraksi Nasdem DPRD kota Yogyakarta, dan sebagai ketua badan pemenang pemilu kota Yogyakarta, saya tegaskan sistem PT tidak ada yang salah”, tegas Dwi Candra Putra
“Pengaturan PT ini diatur dalam UU 7 tahun 2017, dan berkali-kali telah diajukan judicial review ke MK, namun faktanya dalil permohonan para pemohon tidak dapat meyakinkan MK bahwa PT bermasalah. Jika kita melacak asal pengaturannya, PT ini dulu dibuat oleh pihak oposisi sekarang. Menariknya, pimpinan DPR dulu tidak memberikan catatan apa pun terhadap sistem PT yang diatur UU tersebut. Tapi mengapa baru sekarang dipersoalkan”, lanjutnya.
Pada diskusi kali ini tidak sekedar acara seremonial belaka, namun menjadi momentum konsolidasi kepemudaan dalam melakukan evaluasi serta proyeksi menuju Indonesia emas.