Oleh: Khairunnas*
Siaranindonesia.com-Terdapat perbedaan mendasar antara mendidik dan mengajar. Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Menurut Paulo Freire, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, sedangkan John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah proses yang dilakukan agar ada perubahan dalam masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebuah proses transfer dan pencarian nilai yang terjadi di level individu maupun masyarakat yang mengarah kepada perubahan kondisi ke arah yang lebih baik. Pendidikan sejatinya adalah proses yang mengantarkan manusia pada hakikat dirinya sendiri.
Mendidik lebih bersifat kegiatan jangka panjang. Hasilnya tidak dapat dilihat dalam waktu dekat atau secara instan. Pendidikan merupakan kegiatan integratif olah pikir, olah rasa, dan olah karsa yang bersinergi dengan perkembangan tingkat penalaran peserta didik.
Sementara mengajar merupakan kegiatan teknis keseharian yang dilakukan oleh seorang guru. Hasilnya dapat diukur dengan instrumen tertentu. Mengajar merupakan kegiatan menyampaikan materi untuk meningkatkan wawasan keilmuan, menumbuhkan keterampilan dan menghasilkan perubahan sikap mental seseorang.
Mendidik sesungguhnya lebih menekankan pada pembentukan sikap mental atau kepribadian para peserta didik, sedangkan mengajar lebih menekankan pada aspek penguasaan pengetahuan, keterampilan dan keahlian tertentu yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Sederhananya, seorang guru matematika disebut mengajar jika dia memberi tahu anak didiknya bagaimana caranya menghitung. Namun dia belum disebut mendidik jika tidak melatih anak didiknya agar menjadi orang yang penuh perhitungan dalam setiap tindakannya.
Tidak semua guru mampu mendidik walaupun ia pandai mengajar. Untuk menjadi pendidik sejati seorang guru tidak cukup hanya menguasai materi dan memiliki keterampilan mengajar saja. Ia perlu memahami dasar-dasar agama dan norma-norma dalam masyarakat agar ketika sedang mengajar mampu menghubungkan materi yang disampaikannya dengan sikap dan keperibadiaan yang harus tumbuh dan sesuai dengan ajaran agama dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat.
Guru memiliki peran sentral dalam proses pendidikan. Ia tidak hanya berkewajiban melakukan transfer ilmu pengetahuan (knowledge) saja, tetapi juga melakukan transfer nilai (values). Tentu menjalankan kedua peran ini bukanlah perkara yang mudah. Setiap guru membutuhkan pendidikan akademis yang memadai, pemahaman terhadap nilai-nilai agama dan moralitas yang baik, dan keterampilan mengajar yang prima.
Mentransfer ilmu pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan, keterangan yang menarik, dan contoh-contoh konkrit yang sederhana. Proses transfer ilmu pengetahuan dianggap sudah berhasil jika peserta didik telah memahami teori-teori yang diajarkan, atau setelah mereka mengalami perubahan secara kognitif, dari ‘tidak tahu’ menjadi ‘tahu’.
Jika transfer ilmu pengetahuan dapat berlangsung secara sederhana, maka transfer nilai membutuhkan waktu yang lebih lama dan proses yang agak rumit. Sebuah nilai baru akan ‘hidup’ dalam diri seorang peserta didik jika dia telah mengalami nilai-nilai yang diajarkan tersebut secara berulang-ulang dalam konteks kehidupan yang nyata.
Mentransfer nilai tidak bisa dilakukan dengan menghafal konsep-konsep nilai itu saja, tetapi perlu mengalaminya secara langsung dengan melibatkan seluruh aspek yang ada pada diri setiap peserta didik, baik itu aspek kognitif, aspek afektif, maupun aspek psikomotorik. Oleh sebab itu, transfer nilai membutuhkan suatu proses yang melibatkan pengalaman seluruh anggota komunitas, mulai dari sekolah, anggota keluarga, hingga lingkungan masyarakat dan negara.
Dengan melakukan transfer ilmu dan nilai secara bersamaan maka akan tercipta sistem pendidikan yang totalitas, yaitu pendidikan yang tidak hanya berupa pembelajaran di dalam kelas, tetapi juga pembentukan watak dan karakter. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sejalan dengan itu, Islam menyebut pendidikan sebagai sebuah proses pemberdayaan manusia untuk membangun suatu peradaban yang bermuara pada terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam memainkan peranan yang sangat penting dalam mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi masa depan.
Pendidikan Islam harus mampu menyelenggarakan proses pembekalan pengetahuan, penanaman nilai, pembentukan sikap dan karakter, pengembangan bakat, kemampuan dan keterampilan, menumbuhkembangkan potensi akal, jasmani dan rohani yang optimal, seimbang dan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Pendidikan Islam memikul amanah yang sangat berat ini agar manusia dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah di permukaan bumi.
Pendidikan yang hakiki menurut Islam adalah suatu proses membina seluruh potensi manusia agar menjadi makhluk yang beriman, berpikir, dan dapat berkarya untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya. Pendidikan Islam harus mampu menjadi garda terdepan dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas agar mampu membentuk kepribadian peserta didik yang sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia.
*Katua Yayasan Rumah Belajar Indonesia