Oleh: Nur Imam Mahdi
Islamisme di lembaga PAUD perkotaan menjadi fenomena yang cukup menggemparkan lantaran muncul kontroversi dari beberapa pendidik PAUD. Disatu sisi para pendidik menentang adanya ajaran anti pancasila, anti merah putih bahkan paparan radikalisme pada anak usia dini dan di lembaga itu sendiri. Namun di sisi lain, beberapa bukti yang sudah kita lihat di media masa justru harus menjadi perhatian bagi masyarakat luas. Pasalnya anak sudah didoktrin melalui pembelajaran yang mengarah pada paham radikalisme.
Paham dan sikap radikal ini disisipkan dalam bentuk pembelajaran moral dan agama. Melalui nyanyian disisipkan paham-paham radikal, apabila dibiasakan maka akan terkonsep di pikiran, dengan kemudian akan teraktualisasikan.
Sebagaimana pernyataan dari Piere Bordieu, karena habitus kebiasaan akan muncul ketika terdapat modal (capital) dan kawasan yang pelan-pelan akan menjadi tempat praktek dalam kehidupan sehari-harinya. Jika dikawasan tersebut modalnya adalah radikal, ditambah mendapat kawasan yang kondusif, maka yang lahir adalah praktik radikal semakin kuat dan menyebar. Kawasan dan modal akan sangat berpengaruh pada pembentukan kebiasaan masyarakat termasuk kebiasaan anak, sebab diketahui bersama bahwa mereka membutuhkan figur-figur yang dapat diandalkan atau dicontoh. Oleh karena itu, sangat diperlukan perhatian dari berbagai pihak, agar anak-anak khususnya PAUD tidak lebih banyak dikenalkan atau didoktrin dengan paham islamisme berbalut radikal.
Pendidikan multikultural pada anak usia dini perlu dan penting untuk memberikan pondasi awal dalam menjaga keharmonisan dan persatuan. Pendidikan multikulural perlu di internalisasikan di PAUD. Pendidikan multikultural diinternalisasikan ke pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan demonstrasi. Guru melaksanakan proses internalisasi dengan mengenalkan budaya, bentuk aktivitas pembelajaran pendidikan multikultural dilakukan melalui pengenalan bahasa ( Jawa, Sunda, Sumatera, Papua) dll, budaya (pakaian adat), seni (tarian adat), field trip (mengunjungi museum) dan permainan tradisional. Diinternalisasi melalui penggunaan media yang beragam seperti gambar baju adat dan film tentang keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Penggunaan media tersebut diharapkan mampu menyampaikan pesan tentang multikultural kepada peserta didik.
Salah satu berkah kekayaan bangsa kita adalah pluralitas suku, agama, ras dan budaya. Pluralitas bangsa ini diibaratkan dua sisi mata uang, satu sisi dapat dimanfaatkan secara positif sebagai inspirasi pendewasaan demokrasi, tetapi di sisi lain berpotensi dimanfaatkan oleh provokator tidak bertanggung jawab sebagai pemicu disintegrasi bangsa agar terjadi konflik suku, agama, dan ras antar golongan yang dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan.
Masyarakat multikultur menyimpan banyak kekuatan positif dari masing-masing kelompok, selain juga benih perpecahan apabila tidak dikelola dengan baik dan rasional. Potensi konstruktif berbangsa dan beragama dapat berkembang positif jika setiap anak bangsa dan umat beragama menjunjung tinggi nilai toleransi supaya terjalin harmonisasi kerukunan antar umat beragama. Sebaliknya potensi dekstruktif berbangsa dan beragama dapat muncul ke permukaan jika tidak menjunjung tingggi toleransi dan kerukunan umat.
Semangat pendidikan multikultural yakni melakukan perubahan dalam setiap pendekatan pembelajaran kearah memberikan kesempatan dan peluang yang sama pada setiap anak. Jadi, tidak ada anak yang dikorbankan untuk mencapai persatuan, melainkan dengan perbedaan itu terbentuk pemahaman untuk dihormati. Nilai-nilai pendidikan multikultural anak usia dini tidak hanya diajarkan saja, melainkan lebih dari itu, yakni proses menanamkan, melatih, membiasakan, dan membentuk pola perilaku dan sikap anak untuk benar-benar dapat mengerti dan memahami makna setiap perbedaan serta kemungkinan kemungkinan adanyabersinggungan dalam setiap interaksi untuk sekiranya dapat dipahami dan disikapi dalam bentuk kesantunan dan nilai-nilai toleransi.
Terjadinya radikalisme yang dijelaskan diatas menggambarkan bukan hanya karena minimnya pengetahuan tentang sebuah isi ajaran, tapi ini dikarenakan kurangnya kesadaran setiap individu untuk memahami dan mempelajari makna lain dari kehidupan yang majemuk ini. Disinilah kehadiran sebuah pengetahuan dipentingkan untuk memposisikan anak pada jalur pemahaman yang sesuai dan benar, memberikan pengertian yang baik tentang makna perbedaan agama, pembentukan pola pikir anak untuk melihat lebih jernih dan tidak tercampur dengan perilaku negatif yang akan menjerumuskan mereka pada kekeliruan pemahaman.
Aspek yang menjadi perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan multikultural khususnya untuk anak usia dini, perlunya merancang kurikulum yang diorientasikan untuk mewadahi aspek yang mengintegrasikan antara materi pembelajaran dengan norma-norma penghargaan kultur. Pentingnya dalam melakukan perencanaan model pembelajaran dimaksudkan untuk memberikan akses dalam memperhatikan bagaimana tumbuh kembang anak, yang pada akhirnya dalam proses pembelajaran tetap memperhatikan kondisi psikologis dan mental peserta didik. Termasuk diantaranya penggunaan alat-alat permainan dan proses sosialisasi yang dibangun dilingkungan sekolah mampu menggugah cara berfikir dan bersikap untuk menghargai perbedaan.
Pada praktiknya pendidikan multikultural dapat membentuk kader-kader bangsa yang mengakui perbedaan serta mempraktikan hidup yang sejalan dengan penanaman nilai-nilai pendidikan multikultural bagi anak usia dini, yaitu nilai toleransi, nilai demokrasi, nilai kesetaraan, dan nilai keadilan. Keempat nilai tersebut menjadi nilai dasar dan sangat penting dalam membangun resolusi konflik dalam kehidupan anak, dan juga akan berdampak pada pembangunan perdamaian di masa yang akan datang.